Wednesday, November 18, 2015

RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 1: Si Raja Toba vs Si Raja Bata

SERI MENGUBUR MITOS (17)

RUNTUHNYA MITOS SI RAJA BATAK - 1
Si Raja Toba vs Si Raja Batak
Oleh: Edward Simanungkalit *


 Si Raja Toba
        Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong, yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl)
menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba.
     Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang. Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama Si Raja Toba, karena hanya menurunkan Orang Toba. Jadi, Si Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang Toba terbukti dari DNAnya.

Si Raja Batak
          Selama ini Si Raja Batak disebut-sebut adalah nenek-moyang Suku Batak. Si Raja Batak disebutkan nama kampungnya di Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, yang sekarang berada di daerah Kabupaten Samosir.
Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M. Hutagalung,  dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. Berbagai tulisan maupun buku-buku “Sejarah Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut  merupakan kampung awal Bangso Batak (2015:1-11).
          Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan bahwa keturunan Si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan
Mandailing merupakan keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba. Dengan demikian, selain keturunan Si Raja Batak, maka seluruh marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak Toba juga yang kesemuanya merupakan Bangso Batak. Sebelum W.M. Hutagalung menulis bukunya, maka konon kabarnya sudah ada dibuat tarombo Si Raja Batak dalam bentuk lukisan yang konon juga kabarnya ditemukan di dalam desertasi Ronvilk sebagai lampiran. Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak. Akan tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah  dapat diperkirakan pengaruhnya demikian luas. Setelah Bibel, Buku Ende, dan Almanak Gereja, sepertinya buku inilah yang paling banyak dibeli masyarakat terutama masyarakat Toba.

          Pada tebing bukit di Sianjur Mulamula, Samosir ada dibuat tulisan: “PUSUK BUHIT – SIANJUR MULAMULA – MULA NI HALAK BATAK – 5 SUKU: BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAPPAK,
BATAK SIMALUNGUN”. Selanjutnya, Monumen Pintu Gerbang Tomok memuat tulisan: BATAK TOBA, BATAK SIMALUNGUN, BATAK MANDAILING, BATAK ANGKOLA, BATAK PAKPAK, BATAK KARO. Sementara dalam website Pemkab Samosir, tentang Si Raja Batak ini ditulis sebagai berikut: “Si Raja Batak, yang tinggal di Kaki Gunung Pusuk Buhit mempunyai dua putra, yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kelompok besar marga Bangso Batak, yaitu Lontung dan Sumba. Dari kedua kelompok marga ini lahirlah marga-marga orang Batak, yang saat ini sudah hampir 500 marga. Sampai saat ini orang Batak mempercayai bahwa asal mula Bangso Batak ada di Pusuk Buhit Sianjur Mulamula.” (www.samosirkab.go.id).
          Kemudian mengenai masa hidup Si Raja Batak ini, maka dikemukakan beberapa pihak sebagai berikut:
Richard Sinaga, dalam bukunya "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" (1997) mengemukakan bahwa masa hidup Si Raja Batak kira-kira pada tahun 1200 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Batara Sangti Simanjuntak, dalam bukunya berjudul “Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Kondar Situmorang, dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26 September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987, dengan judul “Menapak Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada pada tahun 1475 Masehi.
Sarman P. Sagala, dalam website Pemkab Samosir mengatakan, bahwa Si Raja Batak hidup pada tahun 1200 atau awal abad ke-13 (http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/).
Ketut Wiradnyana, arkeolog Balai Arkeologi Medan yang telah melakukan penelitian arkeologi di Samosir, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengatakan bahwa  orang Batak pertama di Sianjurmulamula dan mereka telah bermukim di sana sejak 600-1000 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si  Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id). 
         Demikianlah telah diuraikan di atas tentang masa hidup Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan tadi keseluruhannya berkisar antara 500-1000 tahun lalu atau tidak lebih dari 1000 tahun.

Menara di Atas Pasir
          DNA Orang Toba membuktikan bahwa Orang Toba adalah keturunan Si Raja Toba ini (2015:31-35). Si Raja Toba ini jauh lebih dulu hidup mendiami Tano Toba (Negeri Toba) daripada Si Raja Batak. Si Raja Toba hidup 6.500 tahun lalu, sedang Si Raja Batak hidup paling lama 1.000 tahun lalu, sehingga masa hidup mereka memiliki selisih waktu 5.500 tahun. Dengan demikian, terbukti juga bahwa bukan Sianjur Mulamula kampung awal Orang Toba, tetapi Humbang merupakan daerah awal Orang Toba yang didiami oleh Si Raja Toba yang banyak itu orangnya di masa lalu. Terbukti juga bahwa Pusuk Buhit bukan gunung leluhur Orang Toba atau “Batak” sekalipun.
          Turiturian dan tesis yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) yang berpangkal kepada figur Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di Samosir terbukti telah gugur.  Sejarah Batak yang pada dasarnya merujuk kepada buku W.M. Hutagalung (1926) tadi harus ditulis ulang kembali, karena ternyata Orang Toba merupakan keturunan Si Raja Toba dari Humbang yang diperkirakan hidup sekitar 6.500 tahun lalu. Si Raja Batak hanyalah pihak yang datang menyusul 5.500 tahun kemudian setelah Si Raja Toba berdiam di Humbang pada sekitar 6.500 tahun lalu. Dengan demikian W.M. Hutagalung selama ini hanya berusaha mendirikan menara di atas pasir dan menara itu telah rubuh seiring dengan pengungkapan fakta-fakta sekarang ini.

Kebenaran itu Memerdekakan
          Penulis berada pada keyakinan bahwa kebenaran itu memerdekakan (Yoh. 8:32) dengan premis: “All Truth is God’s Truth”. Mitos yang lahir secara alamiah apalagi mitos yang diciptakan orang tertentu sudah seharusnya ditinggalkan dan diganti dengan pegangan baru yang lebih rasional dan dapat diterima pikiran sehat. Salah satu ciri dari masyarakat modern ialah menghargai dan berpatokan kepada ilmu pengetahuan dan tekonologi (iptek). Iptek adalah anugerah Tuhan untuk menciptakan kesejahteraan manusia, sehingga iptek bukanlah musuh iman Kristen. Oleh karena itu, mitos Si Raja Batak jelas-jelas sudah harus ditinggalkan, karena sama sekali bertentangan dengan pikiran sehat yang ilmiah.
          Beberapa kali terdengar suara komentar bahwa penulis masih memiliki “kelemahan” oleh karena belum mengadakan penelitian dengan bertanya kepada sahala-sahala atau arwah-arwah leluhur. Di dalam iman percaya penulis kepada Tuhan Yesus Kristus,  bagi penulis tidak ada itu sahala-sahala atau arwah-arwah leluhur, karena hanya Roh Kudus, roh manusia yang hidup dan iblis/roh-roh jahat yang ada di dunia ini. Iblis dan roh-roh jahat itu sudah dikalahkan Yesus Kristus di kayu salib ketika Yesus mati dan bangkit kembali dari kematian pada 2.000 tahun lalu di mana dengan darah-Nya yang mahal telah menebus umat-Nya dari dosa. Darah Yesus berkuasa menghancurkan kekuatan Iblis dan roh-roh jahat yang menyamar dan mengaku-ngaku sebagai sahala atau arwah leluhur. Iblis adalah pendusta dan bapa segala dusta (Yoh. 8:44), maka tidak ada gunanya bertanya untuk mencari data kepada bapa segala dusta.
          Ada juga anggapan dan suara yang mengatakan bahwa mempertanyakan kesakralan leluhur itu dapat mengakibatkan bangkitnya murka para sahala leluhur atau bisa menerima hukuman dari leluhur. Leluhur itu sudah meninggal, maka mereka sepenuhnya berada di bawah kontrol Allah yang telah memisahkan orang mati dengan orang hidup. Iblis dan roh-roh jahat yang menyamar dan mengaku-ngaku sahala atau arwah leluhur tidak pernah dapat mencelakai umat tebusan Yesus yang ditutup-bungkus oleh darah Yesus. Kekuatan iblis dan roh-roh jahat tidak akan pernah dapat menembus darah Yesus, bahkan malah mereka takut dan terbirit-birit mendengar darah Yesus disebutkan. Dengan kuasa darah Yesus, umat tebusan-Nya akan mengalahkan iblis dan roh-roh jahat (Why 12:11). Tuhan mempelengkapi umat tebusan-Nya dengan: firman-Nya, nama Yesus, darah Yesus, Roh Kudus, dll. Segala kemuliaan hanya bagi Allah. ***

                   
          (*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban



























HALAK TOBA – ORANG TOBA

SERI MENGUBUR MITOS (16)
HALAK TOBA – ORANG TOBA
Oleh: Edward Simanungkalit *


            Sejak kecil, penulis memahami diri sendiri sebagai Halak Toba atau Orang Toba pada paruh kedua tahun 1960-an. Itu yang penulis ketahui dari para orangtua di lingkungan penulis di saat berada di Kabupaten Dairi. Para orangtua sering berkata: “Anggo adat ni hita, halak Toba, asing do adatna tu adat ni dongan Pakpak manang dongan Karo.” i.e. : “Kalau adat kita, orang Toba, berbeda dengan adat dari saudara kita, Pakpak maupun Karo.”. Begitu kira-kira disampaikan, sehingga terlihat kontras antara Orang Toba dengan Orang Pakpak maupun Orang Karo, yang jelas memberikan identifikasi diri bahwa diri penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba. Demikian juga, ketika penulis berada di daerah Karo, maka ketika menyebut marga penulis, maka Orang Karo menyebut penulis: “O’ kalak Tebba.” Begitu juga Orang Pakpak menyebut penulis: “Kalak Tebba”. Kedua perkataan ini artinya: “Halak Toba” atau “Orang Toba”. Jadi, penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba.
          Ketika ada orang dari Sidikalang mau ke bekas daerah Tapanuli Utara dulu sebelum pemekaran. Maka ditanyakan mereka mau ke mana, maka jawabannya: “Naeng tu Toba” i.e.: “Mau ke Toba” dan dilanjutkan penjelasannya di mana Tobanya itu, yaitu: Pangururan,  Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong, Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Demikian juga, ketika mereka kembali dari daerah-daerah tersebut, maka mereka berkata: “Dari Toba”. Bus-bus umum pun yang mau ke daerah-daerah tadi akan berkeliling kota memanggil para penumpangnya dengan berkata: “Toba, Toba, Tobaaaaa …”. Baru-baru ini pada bulan Juni 2015 lalu, ketika melintas di depan stasiun bus Sitra, mereka memanggil: “Toba, Toba, Tobaaaa …”. Pada waktu itu penulis sengaja bertanya kepada mereka apa yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” itu, mereka menjawab: “Samosir, Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong,  Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Jadi, yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” atau “Tano Toba” itu ialah bekas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dulu sebelum dimekarkan.
          Stempel Raja Singamangaraja XII berbunyi: “Maharaja di Negeri Toba”. Stempel ini berbunyi: “Negeri Toba”, bukan “Negeri Batak”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988) pada naskah “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus. Mereka menggunakan kata: “Negeri Toba” (Tano Toba), bukan “Negeri Batak” (Tano Batak). Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: “Toba Na Sae” (2009) menjelaskan soal kata: “Toba Na Sae” itu dengan memaksudkan: “Tano Toba” yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung. Ini yang dikenal pada tahun 1970-an dan sebelumnya.
          Selain itu berkaitan dengan kata “Toba” ini, maka ada lagi Hata Toba, Marende Toba, Boru Toba, Lompa-lompa ni Halak Toba, Adat Toba, Ulos Toba, dll. Demikian banyaknya dulu kata yang memakai kata “Toba”, sehingga penulis memandang diri sendiri sebagai Orang Toba. Orang Toba berdiam di sekitar danau yang disebut Tao Toba. Demikian juga beberapa orang yang penulis tanyai yang pada masa kecil dan remajanya di Samosir dan di Humbang Hasundutan pada tahun 1960-an, bahwa mereka pun menyebut dirinya dulu di sana sebagai "Halak Toba" atau "Orang Toba" juga. 
          Memang di masa itu ada kata “Batak” yang jarang dipergunakan, karena itu hanyalah wadah persatuan 5 etnis. Penulis tidak tahu kenapa disebut “Batak” dan itu tidak terasa merupakan bagian diri penulis, karena di dalam perbicangan sehari-hari, maka sebagai Orang Toba itulah yang merupakan identifikasi diri penulis. Penulis merasakan dan meghayati diri sebagai Orang Toba yang demikian kuat tertanam di dalam diri penulis. Begitulah memandang diri penulis selama berada di Sidikalang hingga sampai tamat sekolah dari SMA.
Kemudian hari setelah bertemu dengan berbagai literatur ketika kuliah di Jakarta, maka di dalam buku-buku tersebut dipergunakan istilah “Batak” dan “Batak Toba”. Buku-buku yang ditulis oleh berbagai penulis ini mempengaruhi diri penulis. Di paruh kedua tahun 1980-an hal itu semakin banyak dipergunakan yang dari Toba menjadi Batak Toba. Bahkan kemudian hari bukan hanya Toba itu adalah Batak, tetapi Batak itu adalah Toba. Sehingga, penulis menemukan ada orang yang menyebut bekas Tapanuli Utara dulu menjadi: Batak Humbang, Batak Silidung, Batak Toba, dan Batak Samosir. Kemudian mulailah muncul perkataan: “Anggo hita halak Batak on asing do tu nasida halak Karo, halak Pakpak, manang halak Simalungun pe.” i.e.: “Kalau kita, orang Batak, ini berbeda dengan orang Karo, orang Pakpak, maupun orang Simalungun.”. Sedang Orang Simalungun, Pakpak, dan Karo menyebut Orang Toba dengan sebutan: "Orang Batak". Akhirnya, Halak Toba (Orang Toba) berubah menjadi Halak Batak (Orang Batak). Seiring dengan pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara, maka dibentuklah Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir. Belakangan ini yang tadinya disebut Toba Holbung secara perlahan-lahan berubah menjadi Toba dan kata “Holbung”nya pun mulai hilang.
          Melihat telah terjadinya pergeseran seperti yang penulis uraikan di atas tadi, maka penulis mencoba kembali kepada apa yang dulu penulis hayati sebagai diri penulis. Itulah makanya, penulis menggunakan kata “Toba” dan “Orang Toba” kembali seperti dulu ketika masih kanak-kanak. Sebelum penulis membahas berbagai hal, maka penulis terlebih dahulu memilih penggunaan istilah “Orang Toba” untuk menidentifikasi orang-orang atau masyarakat yang berasal dari kawasan Humbang, Silindung, Toba Holbung, dan Samosir.
          Tentang Tano Toba wilayah Tapanuli Utara dulu sebelum pemekaran diabadikan oleh S. Dis. Sitompul, dari Sigompulon - Pahae, di dalam lagunya yang berjudul: “TANO TOBA” seperti berikut ini:

TANO TOBA

Indada piga songon hauma
Tudos tu juma di tano toba

Sahali pe mangula da inang
Martaon marbulan butong mangan da amang 
Sahali pe mangula da inang
Martaon marbulan butong mangan da amang 

Disi bidangna dohot ulina
Disi rupana dohot daina
Tano toba tano na martua 
Tarbarita tarbarita tu bariba

Tano toba tano na martua 
Tarbarita tarbarita tu bariba

Tano toba tano na martua eme gok
Bidang na so ra suda
Laos disi do nang tao toba 
Tao na ummuli di nasa jolma
Tao toba tao na martua baritana 
Nunga sungkot ro didia

          Berbeda dengan Tano Toba yang dimaksudkan oleh S. Dis. Sitompul tadi, tentang Toba Holbung diabadikan oleh Nahum Situmorang di dalam lagunya yang legendaris: “DENGKE NA NIURA” seperti berikut ini:
DENGKE NA NIURA
Masak so pola ni lompa.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partobi tao i.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partopi tao i.
Asom hape pangalompana.
Uram-uramna limut ni tao i.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partobi tao i.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partopi tao i.
O amang, o inang.
Loas au, loas au.
Lao diririt par-toba holbung i.
Da ingkon saut na ma au maen ni toba.
Maen ni toba holbung partopi tao i.
Naingkon saut na ma au helani toba.
Helani toba holbung partopi tao i.
                                               
          (*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban



Sunday, November 8, 2015

MEMBAYANGKAN PAKPAK SEBAGAI ETNIS TERSENDIRI: Sebuah Renungan

MEMBAYANGKAN PAKPAK SEBAGAI ETNIS TERSENDIRI
Sebuah Renungan

Oleh: Edward Simanungkalit *

Setelah melihat di beberapa grup marga Facebook pada kalangan Orang Pakpak, maka terlihat adanya perbedaan-perbedaan dan tarik-menarik dalam diskusinya di antara satu marga.  Hal ini ditambah lagi informasi melalui pembicaraan dengan saudara-saudara dari kalangan Pakpak sendiri mengenai adanya polarisasi di kalangan marga-marga Pakpak. Tanpa menyebut marga, maka ada sebagian marga A mengatakan bahwa mereka masuk marga QV dari Toba dan ada sebagian lagi dari marga A tersebut mengatakan mereka masuk marga QW dari Toba, sehingga marga A ini menjadi dua kelompok yang tarik-menarik. Sebagian lagi ada marga B, C, dan D dari Pakpak yang bersaudara seayah, tetapi kemudian marga B dikatakan masuk marga X dari Toba, marga C dikatakan masuk marga Y dari Toba, dan marga D dikatakan masuk marga Z dari Toba. Kemudian marga X, Y, dan Z dari Toba inipun bukan satu rumpun, sehingga semakin besarlah jarak di antara marga B, C, dan D dari Pakpak tadi atau menjadi tidak bersaudara lagi kalau mengikuti marga-marga Toba tadi.
Lewat sedikit gambaran ini, maka jelas bahwa suara yang mengatakan: “Marga ini masuk marga sana.” telah membuat tarik-menarik di antara marga-marga Pakpak dan hal ini menimbulkan polarisasi bagi etnis Pakpak secara keseluruhan. Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi orang Pakpak dan jelas-jelas merugikan bagi kesatuan etnis Pakpak sebagai sebuah etnis yang mandiri. Untuk itu perlu melihat dari mana permasalahan itu bermula dan bila merunut ke belakang, maka ada sebuah buku yang didesain oleh Belanda yang menimbulkan permasalahan tadi bagai duri dalam daging.

PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak
Kata Sambutan buku ini diawali bertahun 1913 dan terakhir tahun 1926. Jadi, buku tersebut  dipersiapkan lebih dari 13 tahun. Tentulah buku ini sudah dipersiapkan sebelum tahun 1913 mengingat kata sambutannya  saja sudah ada pada tahun 1913. Buku tersebut ditulis oleh W.M Hutagalung, yang merupakan Asisten Demang di Pangururan pada waktu itu, sehingga orang ini merupakan kaki tangan Belanda yang bekerja untuk Belanda. Banyak terjadi permasalahan di seputar persiapan penulisannya, sehingga membuat buku ini tertunda terus untuk diterbitkan. Dalam keadaan bermasalah seperti tadi, penguasa Belanda memerintahkan buku itu diterbitkan, sehingga terbitlah buku tersebut pada tahun 1926 seperti yang dapat kita lihat sekarang. Kemudian isi buku tersebut disosialisasikan melalui sekolah-sekolah yang disubsidi pemerintah Belanda di masa lalu dan dikelola oleh misionaris Jerman.
Pada bagian awal buku tersebut diuraikan tentang Langit Ketujuh tempat Raja Odapodap dan Si Borudeak Parujar yang kemudian turun ke bumi melalui puncak Pusuk Buhit dan berjalan terus ke Sianjur Mulamula. Di sana mereka berdua kawin dan melahirkan Raja Ihatmanisia dan Boruitammanisia yang menjadi nenek-moyang manusia. Keturunannyalah Si Raja Batak yang menurunkan BANGSO BATAK, karena sebagian keturunannya pergi ke Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing yang membentuk Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, sedang yang menetap di Tano Toba menjadi Batak Toba. Di dalam buku tersebut seluruh marga-marga Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing dirajut sedemikian rupa menjadi keturunan Si Raja Batak di dalam tarombo yang diuraikan dengan panjang lebar di dalam buku tersebut. Cara merajut marga-marga tersebut penulis sebut sebagai "jurus padomuhon langit dohot tano" sebagaimana sudah dibuat dalam tulisan sebelumnya.
Akibatnya, seluruh marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing menjadi marga Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak. Dalam kerangka pikir seperti inilah, maka disebutlah Orang Toba menjadi Batak Toba, Orang Pakpak menjadi Batak Pakpak, Orang Karo menjadi Batak Karo, Orang Simalungun menjadi Batak Simalungun, dan Orang Mandailing menjadi Batak Mandailing. Orang Toba memahaminya demikian, karena sejak abad kesembilanbelas hal ini sudah disosialisasikan oleh Belanda bekerja sama dengan misionaris Jerman dulunya dan Tano Toba diganti oleh Belanda namanya menjadi Bataklanden (Tano Batak). Padahal, stempel Raja Singamangaraja XII bunyinya: "Maharaja di Negeri Toba" atau dalam bahasa Tobanya yaitu: Tano Toba. Orang Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing dapat diperkirakan merasa asing dengan cerita asal-usul dari Sianjur Mulamula ini, karena setiap etnik ini tentulah punya mitologi yang menceritakan asal-usulnya yang bukan dari Sianjur Mulamula. Tapi, kemudian "digeser" menjadi berasal dari Sianjur Mulamula hingga dijadikan menjadi Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, sehingga keempat etnik ini "merasa dipaksa" berasal dari Sianjur Mulamula dan menjadi keturunan Si Raja Batak.
Di Sianjur Mulamula, pada tebing bukit di sana, ada tertulis Si Raja Batak dan Sianjur Mulamula asal Halak Batak, yang 5 Suku: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Demikian juga di Tomok ada gerbang selamat datang
berbentuk monumen bertulisan: Batak Toba, Batak Pakak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Hal ini sudah menguatkan isi buku tadi, bahwa di dalam pikiran pengagum buku tersebut, bahwa Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing berasal dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir. Ringkasnya dari buku tadi, bahwa Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Samosir. Inilah mitos yang dibangun melalui buku W.M. Hutagalung tersebut dan banyak buku yang ditulis kemudian didasarkan pada mitos ini.
Kemudian sejak paruh kedua tahun 1980-an, buku ini dijual lagi dengan gencarnya di toko-toko buku dan di terminal-teminal. Sampai sekarang banyak buku tersebut dijual di toko-toko buku dan di terminal seperti terminal Perluasan Siantar dan Siborong-borong. Dengan melihat panjang kurun waktu yang berlangsung tersebut, maka diperkirakan buku tersebut terjual sekitar 500.000 - 1.000.000 eksemplar. Fantastis, menggiurkan hasil penjualan buku tersebut, yang isinya hanyalah menguraikan mitologi dan turiturian (folklore) dan isinya sulit untuk dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, betapa tidak arifnya kita ini kalau hanya mewariskan mitologi dan folklore (turiturian) di abad keduapuluh satu ini di saat manusia sudah hendak pergi ke planet Mars dan hidup di era kemajuan iptek secanggih seperti sekarang ini.
Monumen Selamat Datang di Tomok

Pakpak adalah Etnis Tersendiri
Setelah melihat ke belakang, tampak jelas bahwa buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” telah menimbulkan masalah bagi kelima etnis tadi yang hendak disatukan menjadi satu rumpun dengan nama BANGSO BATAK. Mandailing sudah dari awal menolaknya melalui pengadilan, sehingga Mandailing terpisah dari Batak atau tidak termasuk Bangso Batak berdasarkan putusan pengadilan.    Sedang   Simalungun  telah menerbitkan buku:  “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (2012)  yang  ditulis oleh  sebuah 
Tim yang mumpuni sebanyak 7 (tujuh) orang, yang terdiri dari: 3 doktor (S-3) dan 4 master
(S-2). Tentu buku Etnis Simalungun ini jauh berbeda bobotnya dibandingkan dengan buku W.M. Hutagalung tadi dan patut dicatat bahwa buku ini tidak memakai kata Batak Simalungun, tetapi memakai kata Etnis Simalungun dengan kesadaran akan adanya suatu proses Tobanisasi yang telah berlangsung selama ini. Pihak Simalungun menjelaskan bahwa Kerajaan Nagur sebagai cikal-bakal masyarakat Simalungun itu berasal dari India, artinya bukan berasal dari Sianjur Mulamula. Belum lagi melihat perbedaan ras antara pendiri Kerajaan Nagur dengan penghuni awal Sianjur Mulamula. Dengan demikian, dengan menyebut Etnis Simalungun, maka Simalungun merupakan etnis tersendiri yang terpisah dari Batak atau tidak termasuk dalam Bangso Batak. Kemudian pihak Karo memperkuat dirinya dengan memutuskan Merga Silima yang bukan berasal dari Sianjur Mulamula meneguhkan Karo sebagai sebuah etnis tersendiri dan mandiri.
Pihak Pakpak masih belum memperlihatkan dirinya tampil sebagai etnis tersendiri yang berakar pada sejarah dan budayanya sendiri. Pakpak memiliki masyarakat, tanah ulayat, bahasa, budaya, dan sejarahnya sendiri, yang sudah menunjukkan bahwa Pakpak merupakan etnis tersendiri. Lebih jauh lagi, bahwa buku: “ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula” telah mengemukakan hal ini berdasarkan migrasi

leluhur sejak awal adanya manusia di Sumatera bagian Utara. Periode pertama setelah Sundaland tenggelam, maka Orang Negrito datang bermigrasi ke Sumatera pada masa Mesolitik sekitar 10.000 - 6.000 tahun lalu dari Teluk Tonkin, Vietnam. Kemudian para penutur Austroasiatik datang bermigrasi dari Vietnam-Kamboja-Khmer ke Sumatera melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 4.300 - 4.100 tahun lalu. Disusul lagi para penutur Austronesia datang bermigrasi dari Taiwan ke Sumatera melalui Filipina pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia sama-sama berasal dari Yunan di Cina Selatan yang merupakan ras Mongoloid. Selanjutnya, orang-orang dari India Selatan datang bermigrasi ke Sumatera bagian Utara pada masa tahun masehi mulai sekitar abad ketiga. 
Keempat kelompok inilah yang membentuk Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing, sementara Toba sangat sedikit sekali dipengaruhi pendatang dari India Selatan yang mungkin oleh karena berada di tengah-tengah pedalaman. Jadi, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing terbentuk sendiri-sendiri. Walaupun kemudian ada beberapa marga saling bermigrasi antar sesama etnis dan sesama etnis bertetangga tersebut terjadi saling pengaruh-mempengaruhi, tetapi masing-masing etnis ini sudah terbentuk secara sendiri-sendiri sebelumnya.
Berdasarkan migrasi leluhur tadi, Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing merupakan campuran tiga ras: negrito-mongoloid-india, sedang penghuni awal Sianjur Mulamula berasal dari ras Mongoloid. Bila mengikuti buku W.M. Hutagalung tadi, maka Si Raja Batak (mongoloid) menurunkan Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing (negrito-mongoloid-india). Jadi, kerangka pikir W.M. Hutagalung di dalam buku di atas ringkasnya begini: mongoloid menurunkan negrito-mongoloid-indiaJelas, ini menyalahi pikiran sehat, karena ras  mongoloid hanya dapat menurunkan ras mongoloid juga. Inilah kesalahan fundamental dari buku W.M. Hutagalung tadi. Atas dasar itu, maka kesimpulan selanjutnya, bahwa Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak seperti ditulis oleh W.M. Hutagalung tadi sebelumnya.
     Konsekwensi logis daripada itu, maka marga-marga Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing bukanlah keturunan Si Raja Batak seperti yang ditulis W.M. Hutagalung  dalam uraiannya mengenai tarombo Bangso Batak. Walaupun ada marga-marga tertentu yang bermigrasi dari Toba ke tanah Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing, tetapi bukan menjadikan Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak. Itupun harus dicermati dengan lebih dalam, sedang kesamaan bunyi di dalam marga itupun tidak memastikan bahwa marga yang sama itu memiliki hubungan genealogis. Apabila perlu, maka hubungan marga-marga yang dipertanyakan tersebut dilakukan tes DNA, agar otentik dan valid. Sekarang ini sudah ada lembaga yang memberikan jasa tes DNA tersebut bahkan ada yang sudah menyebutkan tarif $ 99 USD per-orang seperti www.23andme.com. Oleh karena itu, kenapa mesti mencari turiturian untuk mempelajari  hubungan marga-marga? Turiturian tidak dapat diverifikasi dan turiturian bukanlah sejarah, sebab sejarah memiliki kurun waktu yang jelas, sedang turiturian kabur dan gelap. Sekaranglah saatnya mengatakan: "Tidak!" terhadap buku W.M. Hutagalung tersebut. Inilah renungan bersama saudara-saudara dari kalangan Pakpak. Sungguh, kebenaran itu memerdekakan. Salam Bhinneka Tunggal Ika dalam persaudaraan sebangsa dan setanahair. ***

Tebing di Sianjur Mulamula bertulisan: 
BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAKPAK, BATAK SIMALUNGUN 
keturunan SI RAJA BATAK di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir
Sementara nenek-moyang KARO dan SIMALUNGUN datang dari pantai Timur Sumatera bagian Utara serta
nenek-moyang PAKPAK dan MANDAILING datang dari pantai Barat dan Timur Sumatera bagian Utara.
Jadi, PAKPAK-KARO-SIMALUNGUN-MANDAILING bukan berasal dari Sianjur Mula-mula,
sehingga bukan keturunan Si Raja Batak.



(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban