Bambang Sugiyanto
Balai Arkeologi Banjarmasin

I. Pendahuluan

Kalimantan atau Borneo merupakan salah satu pulau besar yang ada di wilayah Negara Kepulauan Indonesia. Tetapi ada sebagian pulau Kalimantan menjadi wilayah negara tetangga Malaysia, yaitu Serawak dan Sabah, serta Brunei. Selebihnya wilayah Kalimantan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Secara umum, Kalimantan dibagi dalam empat wilayah administratif, yaitu: provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Potensi arkeologi di Kalimantan sudah dijajagi sejak tahun 1960an oleh instansi penelitian arkeologi pusat, mulai dari Lembaga Penelitian Purbakala Nasional sampai pada Pusat Penelitian Pengembangan Arkeologi Nasional dewasa ini. Dan sejak tahun 1994, mulai diaktifkan lembaga penelitian khusus Kalimantan, yaitu Balai Arkeologi Banjarmasin, yang awalnya hanya mempunyai wewenang penelitian di Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Sementara Provinsi Kalimantan Barat sampai tahun 2004 masih menjadi wewenang dari Balai Arkeologi Bandung. Baru tahun 2005, Balai Arkeologi Banjarmasin secara intensif mulai menerima pengalihan wilayah dari Balai Arkeologi Bandung.
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa sudah sekitar 17 tahun Kalimantan secara intensif dibedah dan dieksplorasi potensi arkeologinya oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, Balai Arkeologi Bandung, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. 17 tahun itu bukan waktu yang pendek, tetapi untuk kegiatan penelitian arkeologi belum dianggap cukup untuk dapat mengungkapkan misteri sejarah kebudayaan yang ada di Kalimantan. Luas Kalimantan yang demikian besar, prasarana jalan yang belum memadai, serta terbatasnya sumber daya manusia merupakan beberapa kendala dalam pelaksanaan kegiatan penelitian arkeologi di wilayah Kalimantan.
Meskipun demikian, selama 17 tahun ini paling tidak sudah terlihat beberapa titik atau spot arkeologi yang layak diajukan di dunia arkeologi Indonesia dan Asia Tenggara, seperti: situs prasejarah Gua Babi dan Gua Tengkorak (Tabalong), situs prasejarah Semayap (Kotabaru), situs prasejarah Nanga Balang (Kapuas Hulu), situs Batu Cap (Kayong Utara), situs rock-art Kutai Timur, situs prasejarah Gua Payau dan Gobel (Berau), situs Candi Agung (Amuntai), Situs Candi Laras (Tapin), Situs Muara Kamam (Tenggarong), situs istana Sadurangas (Paser), Situs Istana Gunung Tabur dan Sambaliung (Berau), situs kraton Kutai Kertanegara (Tenggarong), situs istana Pagatan (Tanah Bumbu), situs makam dan masjid Sultan Suriansyah (Banjarmasin), situs istana Kotawaringin Lama (Kotawaringin Barat), situs kraton Sintang, situs Kraton Pontianak, situs kraton Mempawah, situs kraton Sambas, situs makam sembilan (Ketapang), situs kolonial Teluk Bayur (Berau), situs kolonial Tarakan, situs kolonial Pengaron, dan banyak situs etnoarkeologi tentang kehidupan kebudayaan suku Dayak di berbagai pelosok wilayah Kalimantan.
Secara umum, tinggalan arkeologi di Kalimantan yang terungkap masih sangat sedikit. Oleh karena itu masih diperlukan banyak sekali kegiatan penelitian eksplorasi arkeologi sejarah budaya untuk dapat mengungkapkan sejarah kehidupan manusia dari jaman dahulu sampai sekarang. Jika kita melihat pada data di atas, terlihat bahwa situs arkeologi di Kalimantan banyak yang berada di wilayah pesisir pantai dan sepanjang daerah aliran sungai, sementara wilayah pedalaman tidak banyak mengandung situs atau artefak. Wilayah pedalaman Kalimantan memang identik dengan daerah pegunungan dan perbukitan yang cukup curam, berhutan lebat, dan mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam mencapainya. Sementara daerah sepanjang aliran sungai dan pesisir pantai tidak memerlukan kemampuan khusus dalam mencapai dan mengeksplorasinya. Mungkin pertimbangan inilah yang membuat manusia pada masa lalu lebih dapat mengembangkan sejarah budayanya di daerah aliran sungai dan pesisir pantai.

II. Permasalahan

Secara umum, memang terlihat bahwa daerah pesisir pantai dan sepanjang aliran sungai merupakan daerah paling ideal bagi perkembangan sejarah budaya di Kalimantan. Banyak situs arkeologi yang ditemukan di kedua daerah tersebut, dan secara teoritis migrasi manusia dari pulau ke pulau melalui daerah pesisir yang kemudian berlanjut lewat sungai-sungai sampai ke daerah pedalaman yang berhutan lebat. Sementara itu, pada perkembangan selanjutnya, pada masa sejarah terdapat beberapa kota bandar di tepi sungai yang mengadakan hubungan perdagangan dengan kelompok masyarakat lain melalui sungai dan laut dengan perahu-perahu dagang yang lumayan besar. Kegiatan perdagangan ini membuat jalur tarnsportasi sungai dan laut menjadi sangat penting artinya bagi perkembangan kehidupan masyarakat masa itu. Tetapi tidak semua daerah pesisir pantai dan daerah aliran sungai di Kalimantan mengalami kejadian yang sama. Permasalahannya adalah:
  1. Daerah pesisir mana yang pernah menjadi pilihan manusia masa lalu untuk mengembangkan kehidupan dan kebudayaannya?
  2. Apa yang mendukung pemilihan lokasi tersebut?
  3. Apa potensi terbesar daerah pesisir Kalimantan?

III. Pembahasan

Daerah pesisir pantai Kalimantan merupakan wilayah yang panjang mulai dari Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat sampai Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur. Secara umum daerah pesisir pantai Kalimantan sebagian besar merupakan daerah rawa gambut, hanya beberapa saja yang merupakan dataran tinggi/perbukitan. Wilayah pesisir itu antara lain:
1. Wilayah Kalimantan Barat:
Pesisir pantai Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Ketapang.
2. Wilayah Kalimantan Tengah:
Pesisir pantai Kabupaten Kapuas, Kabupaten Kahayan Hilir, Kabupaten Katingan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Sruyan, Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Kabupaten Sukamara.
3. Wilayah Kalimantan Selatan:
Pesisir pantai Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Kota Baru.
4. Wilayah Kalimantan Timur:
Pesisir pantai Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Utara, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tanah Tidung, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan.
Wilayah pesisir Kalimantan Barat yang dimulai dari Kabupaten Sambas sampai Kabupaten Ketapang, terlihat didominasi oleh lingkungan rawa-rawa dan gambut. Beberapa perbukitan rendah hanya terdapat di pesisir Kabupaten Sambas bagian utara, Kota Singkawang, dekat kota Mempawah dan daerah Sukadana (Kayong Utara). Perbukitan ini pada umumnya tidak terlalu tinggi dan tidak mempunyai kandungan karst, sehingga tidak mempunyai sumber daya gua dan ceruk yang bisa digunakan sebagai lokasi hunian masa lalu.
Wilayah pesisir pantai Kalimantan Tengah mulai dari kabupaten Sukamara sampai Kabupaten Kapuas bahkan seluruhnya merupakan daerah rawa gambut, sehingga pemukiman banyak dipilih di Sepanjang daerah aliran sungai yang paling dekat dengan daerah pesisir tersebut, seperti: Sampit, Kuala Pembuang, Pegatan, Pangkalan Bun dan Kuala Kapuas.
Wilayah pesisir pantai Kalimantan Selatan mulai dari Kabupaten Tanah Laut sampai Kabupaten Kota Baru, mempunyai bentuk lahan yang sedikit berbeda dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan tengah. Pesisir Kalimantan Selatan mempunyai dua bentuk lahan, yaitu bentuk lahan rawa gambut dan perbukitan yang cukup banyak kandungan karstnya. Kandungan karst itu antara lain terdapat di Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.
Wilayah pesisir pantai Kalimantan Timur mempunyai bentuk lahan yang sama dengan Kalimantan Selatan, tetapi potensi karstnya lebih baik. Pesisir pantai yang mengandung karst ada di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau (kawasan karst Tanjung Mangkalihat dan Sangkulirang). Selebihnya merupakan daerah rawa gambut sama seperti pesisir Kalimantan lainnya.
Bentuk lahan rawa gambut seperti yang ada di hampir semua pesisir Kalimantan tidak memberikan banyak pilihan bagi manusia pada masa lalu untuk berkembang. Oleh karena itu, setelah mencapai daerah pesisir pantai berawa gambut ini, mereka segera mencari daerah eksplorasi lain yang memungkinkan untuk dapat melangsungkan kegiatan kehidupannya. Jadilah daerah di sepanjang sungai besar kecil di Kalimantan ini menjadi pilihan mereka untuk mendirikan pemukiman yang akhirnya berkembang pesat menjadi kota-kota yang ramai dan besar, seperti Banjarmasin, Pontianak, Tanjung Redeb, Tenggarong, dan lainnya.
Daerah pesisir yang berupa rawa gambut memang tidak banyak menyediakan sumber bahan makanan bagi manusia pada masa lalu, sehingga jarang kita menemukan adanya sisa-sisa kehidupan di lingkungan seperti ini. Kalaupun ada bukanlah merupakan satu pemukiman penduduk yang besar dan sifatnya tetap, tapi kemungkinan besar merupakan pemukiman sementara yang dibuat untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan yang mereka lakukan di daerah pesisir tersebut.
Kelompok masyarakat yang sekarang menempati pesisir pantai Kalimantan dari barat sampai ke timur adalah kelompok masyarakat Melayu dan Bugis, yang tersebar luas sebagai akibat berkembangnya perdagangan dan perniagaan sejak abad ke-15 Masehi. Sementara itu, yang tinggal di pedalaman adalah kelompok masyarakat yang mempertahankan budaya tradisional, yaitu berburu dan meramu. Jejak kehidupan manusia masa lalu yang tercermin pada artefak dan situs yang berhasil ditemukan, mengacu pada kenyataan bahwa wilayah pesisir pantai timur Kalimantan sudah lebih dahulu dihuni oleh daripada wilayah pesisir pantai barat, tengah, dan selatan. Situs rock-art Gua Mardua, di desa Pengadan, merupakan salah satu situs yang menandai keberadaan manusia prasejarah di wilayah Kalimantan Timur. Gambar cap tangan dengan warna merah dan beberapa gambar perahu tradisional pada dinding Gua Mardua merupakan bukti valid keberadaan manusia prasejarah yang pernah tinggal dalam gua ini. Tampaknya budaya rock-art ini berkembang pesat di pedalaman Kalimantan Timur, karena ditemukan pada banyak situs gua baik di wilayah Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau.
Selain budaya rock-art, di pedalaman Kalimantan Timur juga ditemukan cukup banyak situs gua hunian prasejarah, seperti situs Gua Tengkorak, situs Liang Jon, situs Gua Kebobo, situs Gua Batu Aji, dan lainnya. Bagaimana budaya prasejarah bisa berkembang di pedalaman Kalimantan Timur, tentunya tidak akan lepas dari dukungan sumber daya lingkungan yang baik. Budaya rock-art ini memang berkembang di lingkungan karst yang luas dan didukung oleh sumber daya sungai dan hutan yang cukup menyediakan bahan makanan yang diperlukan. Oleh karena itu, manusia prasejarah pada masa itu dapat bertahan dan mengembangkan budaya prasejarahnya dengan baik, dan hasilnya tidak kalah dengan budaya yang sama yang ada di Indonesia lainnya. Setelah tahapan budaya prasejarah, tampaknya daerah pesisir pantai Kalimantan tidak terpengaruh oleh perkembangan budaya tetapi lebih berkembang pada masa perkembangan pengaruh budaya Islam di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya kota-kota kerajaan seperti Paser, Penajam, Sambaliung, Gunung Tabur, Salim Batu, dan Tanjung Selor. Selanjutnya jejak periode kolonial muncul di Balikpapan, Berau dan Pulau Tarakan secara khusus.
Sementara untuk wilayah Kalimantan Selatan, jejak prasejarah muncul dari daerah Semayap dan Riam Kanan. Temuan alat batu prasejarah di kedua lokasi tersebut di atas, memang belum mencerminkan keberadaan budaya dan manusia prasejarah. Situs prasejarah baru ditemukan di kawasan karst Batu Buli (Tabalong) dan Mantewe (Tanah Bumbu). Selain jejak prasejarah, pesisir pantai Kalimantan Selatan juga mempunyai jejak peninggalan budaya Islam, seperti makam raja dan kraton di Pagatan dan Kota Baru (Pulau Laut).
Pada pesisir pantai yang ada di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, tampaknya mempunyai persamaan dalam bentuk lahannya. Pesisir pantai dari Kalimantan Barat sampai ke Kalimantan Tengah memang didominasi oleh lahan rawa gambut yang luas. Hanya beberapa lokasi saja yang mempunyai variasi perbukitan rendah seperti di Kabupaten Sambas bagian utara, Kota Singkawang, dan Kabupaten Kayong Utara. Survei eksploratif yang pernah dilakukan di Kabupaten Sambas, menunjukkan bahwa daerah pesisir pantai Sambas sementara ini hanya pernah mengalami persinggungan dengan budaya Islam. Tahapan budaya sebelumnya tampaknya belum pernah mencapai lokasi ini. Yang tampak menonjol adalah adanya kecenderungan migrasi kelompok manusia dari China ke wilayah ini. Lokasi awal pendaratan kelompok migrasi dari China ini diyakini berada pada beberapa muara sungai yang ada di pesisir pantai Kalimantan Barat. Menurut informasi, lokasi pemukiman lama masyarakat China itu ada di Selakau dan Monterado. Masyarakat China inilah yang mengembangkan industri keramik Singkawang yang mempunyai kualitas tidak kalah dengan keramik asli buatan China. Sementara untuk perbukitan di pesisir pantai Kayong Utara, ternyata mempunyai jejak budaya yang mirip dengan budaya rock-art, yaitu adanya gambar-gambar pada batu di situs Batu Cap, Dusun Sedahan, Desa Sukadana. Selanjutnya, budaya yang berkembang di pesisir pantai Kalimantan Barat adalah budaya Islam, dengan berdirinya kerajaan Islam di Sambas, Mempawah, Pontianak, dan Ketapang.
Sementara untuk pesisir pantai Kalimantan Tengah, sementara ini hanya mempunyai data tentang perkembangan budaya Islam dengan berdirinya kerajaan Kotawaringin. Jejak budaya lainnya seperti budaya prasejarah sebenarnya ada, tetapi kurang memberikan data yang valid. Contohnya temuan nekara dan beliung persegi yang menjadi koleksi istana Al Nursari (Istana Kotawaringin Lama), yang tidak dapat dijelaskan lebih lanjut sejarahnya. Nekara di Museum Negeri Kalimantan Barat merupakan nekara lain yang konon ditemukan di wilayah Sambas, Kalimantan Barat.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa daerah pesisir pantai Kalimantan yang memanjang dari Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat sampai daerah pantai Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur, merupakan daerah terbuka terhadap berbagai macam pengaruh budaya luar. Daerah pesisir ini berhadapan langsung dengan jalur-jalur budaya dan perdagangan besar yang seharusnya berpengaruh cukup kuat dalam perkembangan budaya masyarakat di Kalimantan. Kontak budaya yang terjadi sejak jaman prasejarah di kawasan Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan, tampaknya sementara ini hanya meninggalkan jejak-jejaknya di pesisir Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Sementara pesisir Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah tampaknya mulai dieksplorasi sejak masuknya pengaruh budaya Islam secara umum di Indonesia. Pengaruh budaya Islam ini tampaknya lebih luas karena banyaknya berdiri kerajaan Islam di pesisir Kalimantan, seperti Kerajaan Sambas, Kerajaan Mempawah, Kerajaan Pontianak, Kerajaan Ketapang, Kerajaan Kotawaringin, Kerajaan Banjarmasin, Kerajaan Pagatan, Kerajaan Kusan, Kerajaan Paser, Kerajaan Gunung Tabur, Kerajaan Sambaliung, dan Kerajaan Bulungan.
Kerajaan-kerajaan ini pada umumnya didirikan di daerah pesisir di sepanjang muara sungai yang menghubungkan daerah muara dengan daerah pedalaman. Hampir semua kerajaan tersebut di atas mempunyai istana atau kraton yang dibangun di daerah aliran sungai. Istana Sambas di bangun di tepi Sungai Sambas, Istana Mempawah di tepi Sungai Mempawah, Istana Pontianak juga di tepi Sungai Kapuas, Istana Ketapang di tepi Sungai Pawan, Istana Kotawaringin di tepi Sungai Lamandau, Istana Banjarmasin ada di tepi Sungai Kuin dan Sungai Martapura, Istana Pagatan terletak di daerah pantai, Istana Kusan di tepi Sungai Kusan, Istana Paser di tepi Sungai Kendilo, Istana Gunung Tabur di tepi Sungai Kelai, Istana Sambaliung di tepi Sungai Segah, Istana Bulungan di tepi Sungai Kayan.
Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa dataran rawa gambut yang dominan di sepanjang pesisir Kalimantan, tidak menyediakan sumber daya yang cukup untuk melangsungkan kehidupan sehingga tidak banyak dipilih sebagai lokasi pemukiman. Manusia pada masa lalu lebih memilih daerah pesisir yang dilalui oleh sungai, yang memungkinkan mereka untuk berhubungan dengan kelompok lain yang ada di pedalaman. Jalur sungai ini merupakan lalu lintas transportasi dan komunikasi budaya yang sangat penting pada masa lalu, dan itu pula yang menyebabkan di Kalimantan banyak bermunculan kota-kota bandar di tepi sungai. Kota-kota ini akhirnya berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar yang berdaulat dan mandiri. Oleh karena itu, keberadaan sungai-sungai di Kalimantan sangat mempengaruhi pertimbangan masyarakat pada masa lalu dalam memilih lokasi pemukiman di daerah pesisir. Alasan kemudahan transportasi dan operasional merupakan faktor utama dalam pemilihan lokasi pemukiman tersebut. Hal ini tampaknya juga terjadi pada masa yang jauh sebelumnya, yaitu pada masa prasejarah. Situs-situs prasejarah yang ada di pesisir Kalimantan Timur dan Selatan, pada umumnya juga berada dekat dengan sebuah sungai. Situs Gua Mardua yang berada di bukit karst di desa Pengadan berada dekat dengan Sungai Baay. Situs Semayap dan Riam Kanan di Kalimantan Selatan juga berada di daerah aliran Sungai Semayap dan Sungai Riam Kanan. Bahkan gambaran perahu tradisional yang ada di Gua Mardua merupakan bukti yang tidak terbantahkan, jika masyarakat pendukung budaya rock-art tersebut sudah mengenal dan menggunakan perahu pada kehidupan sehari-hari mereka. Kehadiran perahu dalam kehidupan masyarakat di pesisir Kalimantan memang sangat diperlukan, karena pada masa lalu perahu ini lah yang menjadi andalan untuk dapat berhubungan dan bepergian.
Sebagian besar Pulau Kalimantan berdasarkan penelitian geologi terbentuk dari sedimen laut yang berasal dari Laut Jawa dan Cina Selatan. Bagian barat terdiri dari singkapan batuan berumur sekitar 400 juta tahun, yang pada masa lalu merupakan bagian dari Dataran Sunda yang pernah menyatu dengan Semenanjung Malaysia, Jawa, dan Sumatera. Periode glasial dan interglasial yang terjadi beberapa kali di daerah sedang utara selama Kala Plestosen dan Holosen, telah menyebabkan terjadinya variasi perubahan muka laut di seluruh dunia. Pada periode ini, ketika sebagian besar air laut membeku menjadi es oleh turunnya suhu yang hebat, terjadi regresi (susut laut). Penurunan muka laut kadang mencapai 100 meter di bawah permukaan laut sekarang. Wilayah-wilayah luas dari Dangkalan Laut China dan Laut Jawa (Paparan Sunda) secara periodis menjadi daerah kering, sedangkan daerah-daerah jauh di Timur, termasuk Sulawesi tetap menjadi sebuah kepulauan. Pengaruh glasiasi pada Laut Jawa dan Laut Cina Selatan yang sekaligus diiringi dengan gerakan eustatik lempeng bumi, telah beberapa kali membentuk jembatan darat sehingga menghubungkan Kalimantann dengan Pulau Jawa sekitar 12.000 yahun yang lalu. Jembatan darat yang terbentuk ini telah memberikan kemungkinan terjadinya migrasi binatang ke daerah-daerah kepulauan yang paling jauh di selatan.
Jalur migrasi mamalia pertama dari Asia Tenggara Daratan ke Jawa, terus ke arah timur ke Nusa Tenggara, diikuti dengan jalur kedua dari Cina Selatan, Taiwan, Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi melewati jembatan darat Sangihe. Pendapat ini telah memunculkan hipotesis bahwa Pulau Kalimantan dan Sulawesi mempunyai kesempatan yang sama seperti pulau-pulau lain di Indonesia, dalam menampung berbagai aktivitas migrasi baik binatang vertebrata maupun manusia, sehingga terdapat kemungkinan di pulau akan ditemukan jejak-jejak kehidupan manusia prasejarah.
Jejak kehidupan manusia prasejarah pertama ditemukan di Ambang Barat Gua Niah, Serawak. Di situs tersebut ditemukan sebuah tengkorak Homo sapiens yang mempunyai kronologi lebih dari 35.000 tahun. Bukti awal kehadiran manusia prasejarah di Pulau Kalimantan ini juga ditemukan di Madai, Sabah dengan kronologi mutlak 30.000 tahun. Terjadinya jembatan darat pada masa Plestosen, menyebabkan masuknya gelombang kedatangan manusia ke daerah-daerah di kepulauan di paparan Sunda dari Asia. Orang-orang Negrito – nenek moyang bangsa Aborigin Australia dan Melanesia kemungkinan besar telah mendiami Gua Niah sekitar 50.000 tahun lalu. Orang-orang Negrito ini lalu digantikan oleh orang-orang Mongoloid Selatan. Ketika gelombang migrasi manusia menyerbu daerah kepulauan, kedua jenis manusia ini telah bercampur dan mengadakan hubungan persilangan dengan penduduk asli. Suku Negrito yang di Malaysia mempunyai budaya berburu dan mengumpulkan makanan yang masih sederhana. Kondisi yang sama juga dapat kita jumpai pada suku Punan di Kalimantan, yang mengarahkan dugaan jika suku Punan ini berasal dari penduduk negrito asli yang pernah tinggal sebelumnya. Mereka mengokupasi wilayah hutan Serawak dan Kalimantan, dengan menempati hunian sementara dengan jumlah anggota keluarga kecil, berburu dengan sumpit, memanfaatkan batang-batang sagu liar (Eugeisona utilis), mengumpulkan hasil hutan seperti rambutan, durian, dan mangga, serta mempertukarkan hasil hutan dengan kelompok masyarakat pertanian seperti suku Kayan.
Jejak kehidupan prasejarah di Kalimantan pada umumnya cenderung untuk ditemukan di daerah perbukitan atau pegunungan karst karena jenis batuan karst – batu gamping – merupakan jenis batuan yang sangat baik dalam mengkonservasi sisa-sisa tulang secara alamiah. Oleh karena konsepsi dasar manusia prasejarah di Indonesia, sejak kala Pasca Plestosen telah mulai mengenal dan memanfaatkan gua-guakapur sebagai tempat tinggal sementara. Gua-gua ini suatu saat akan ditinggalkan, yaitu saat alam lingkungan sekitarnya sudah tidak dapat menyediakan sumber bahan makanan yang mereka perlukan. Dan salah satu situs hunian prasejarah yang ada di pesisir pantai adalah Gua Mardua di Desa Pengadan, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Meskipun gua ini tidak digunakan sebagai tempat tinggal tetap, tetapi ornamen rock-art yang ada didalamnya menunjukkan bahwa gua ini mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia prasejarah kala itu berkaitan erat dengan kepercayaan dan keyakinan mereka. Kehidupan budaya prasejarah ini berkembang di kawasan karst Tanjung Mangkalihat, Sangkulirang, dan Merabu, Kalimantan Timur, kawasan karst di desa Randu, Tabalong, dan Mantewe, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, serta di DAS Kapuas bagian hulu di Kalimantan Barat.
Sementara pada tahap kehidupan yang lebih muda, pengaruh dari India yang membawa budaya Hindu-Budha di Indonesia, tampaknya belum banyak ditemukan jejak-jejaknya di Kalimantan. Pantai bagian barat Kalimantan yang langsung berbatasan dengan wilayah kerajaan Sriwijaya pada masa lalu, seharusnya mempunyai potensi yang bagus. Kenyataannya, pengaruh Hindu-Budha di Kalimantan sangatlah minim. Hanya beberapa situs yang dapat diajukan seperti situs Candi Agung di Amuntai, situs Candi Laras di Margasari, dan beberapa artefak patung budha yang tidak memberikan data yang memadai. Data yang terbaik muncul di wilayah Kalimantan Barat, tepatnya di wilayah Kepulauan Maya Karimata, Kabupaten Kayong Utara. Secara umum periode Hindu-Budha memang tidak meninggalkan jejak kerajaan di Kalimantan. Ironisnya, sejarah Indonesia dimulai di bumi Kalimantan dengan munculnya Kerajaan Mulawarman di Muara Kaman, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Kerajaan-kerajaan di pesisir Kalimantan muncul pada periode berikutnya yaitu pada jaman pengaruh kebudayaan Islam dan Kolonial, seperti munculnya Kerajaan Banjar, Kerajaan Paser Sadurangas, Kerajaan Gunung Tabur, Kerajaan Sambaliung, Kerajaan Pontianak, Kerajaan Sambas, Kerajaan Mempawah, Kerajaan Ketapang, dan Kerajaan Kotawaringin.
Berdirinya tonggak sejarah Indonesia di situs Muara Kaman, Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa nenek moyang kita lebih bisa beradaptasi di lingkungan daerah aliran sungai daripada daerah rawa gambut yang banyak mendominasi daerah pesisir pantai Kalimantan. Oleh karena itu, mereka lebih memilih lokasi yang ada di daerah aliran sungai untuk mendirikan pemukiman dan istana kerajaannya. Tampaknya tradisi ini terus berlanjut sampai periode pengaruh budaya Islam, dimana hampir semua istana kerajaan dibangun di daerah aliran sungai. Kesuburan tanah di sekitar daerah aliran sungai mungkin merupakan faktor pendukung utama pemilihan lokasi pemukiman tersebut. Dengan kesuburan tanah yang ada, mereka bisa mengembangkan sistem perladangan yang menghasilkan bahan makanan bagi kelangsungan hidupnya.

IV. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa Pulau Kalimantan sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia ini mempunyai daerah pesisir pantai yang sangat panjang. Daerah pesisir pantai itu terbentang dari wilayah Kabupaten Sambas di Provinsi Kalimantan Barat sampai Kabupaten Nunukan di Provinsi Kalimantan Timur. Daerah pesisir ini sebagian besar didominasi oleh bentuk lahan rawa gambut yang diselingi oleh beberapa perbukitan atau pegunungan karst. Dari wilayah bagian Serawak dan Sabah, diketahui bahwa manusia prasejarah sudah hadir dikisaran 35.000 sampai 30.000 tahun lalu. Mereka diduga hadir di Kalimantan dari jalur utara, yaitu jalur migrasi manusia dari Daratan Asia melalui Taiwan, Jepang, Philipina, yang kemudian masuk di bagian utara Kalimantan. Sementara jalur migrasi lain adalah jalur selatan, yaitu dari Daratan Asia melalui semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, bercabang dua, satu ke arah Kalimantan dan satunya terus menujun ke kepulauan Nusa Tenggara.
Daerah yang sering dipilih oleh manusia prasejarah sebagai lokasi tempat tinggal awalnya adalah daerah terbuka yang dekat dengan sumber air, seperti sepanjang daerah aliran, tepian danau, atau tepian laut (pantai). Mereka akan memilih lokasi tersebut jika memang mendapatkan sumber bahan makanan yang diperlukan di lokasi tersebut. Perjalanan mencari lokasi hunian inilah yang kemudian meninggalkan jejak-jejak kehidupan seperti yang ditemukan di situs Semayap (Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan), atau situs Riam Kanan yang sekarang sudah dijadikan waduk Riam Kanan di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan). Perjalanan ini akhirnya akan berujung pada penemuan gua dan ceruk yang kemudian mereka manfaatkan sebagai tempat hunian yang lebih nyaman dan enak, seperti yang kita lihat pada situs Gua Mardua, Desa Pengadan, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Dari situs inilah akhirnya budaya prasejarah berkembang pesat di pedalaman Kalimantan.
Sementara untuk tahapan waktu yang lebih muda, pengaruh perdagangan yang terjadi di kepulauan nusantara sedikit banyak menyebabkan munculnya beberapa kota sahbandar di daerah pesisir pantai di Kalimantan. Kota-kota sahbandar inilah yang kemudian berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan yang lebih besar, seperti Kerajaan Banjarmasin, Kerajaan Pagatan, Kerajaan Kusan, Kerajaan Paser, Kerajaan Sambaliung, Kerajaan Gunung Tabur, Kerajaan Bulungan, Kerajaan Tidung, Kerajaan Kotawaringin, Kerajaan Ketapang, Kerajaan Pontianak, Kerajaan Mempawah, dan Kerajaan Sambas. Hampir semua kerajaan di atas, pertama kali didirikan di daerah pesisir pantai atau di daerah aliran sungai dekat dengan pesisir pantai. Seperti diketahui, sungai di Kalimantan merupakan pintu masuk yang sangat penting dalan hubungan transportasi dan komunikasi antara masyarakat di muara sungai dengan yang ada di hulu sungai atau pedalaman. Melalui sungai-sungai inilah, semua hasil hutan dan barang lainnya dari pedalaman dikirim keluar dan sebaliknya. Lokasi tersebut dipilih karena mempunyai tanah yang subur dan kering, tidak seperti daerah rawa gambut yang senantiasa basah. Dari lokasi itu, mereka juga mempunyai keuntungan secara alamiah, yaitu dargambut i segi pertahanan dan keamanan. Para perompak atau lainnya dari laut lepas harus masuk di sungai dulu untuk dapat menjangkau wilayah mereka. Kondisi ini membuat mereka dapat lebih mudah mengantisipasi serangan tersebut, dan mereka juga dapat mengatur dan mengawasi kondisi pelayaran dan perdagangan di sekitarnya.
Jadi daerah pesisir pantai Kalimantan yang sering dipilih sebagai lokasi hunian adalah daerah pesisir yang dekat dengan sungai besar yang dapat menghubungkan daerah hulu dengan daerah hilir. Daerah ini dipilih karena mempunyai daya dukung yang lebih baik dari kondisi daerah rawa gambut sebagai bentang lahan dominan dari pesisir pantai Kalimantan. Lokasi hunian ini sekarang berkembang pesat menjadi kota-kota besar, seperti Banjarmasin, Tanjung Redeb, Tanjung Selor, Sambas, Ketapang, Pontianak, dan Mempawah, serta Kotawaringin. Beberapa kota besar yang dapat berkembang pesat berada di daerah perbukitan di pesisir pantai seperti Balikpapan dan Bontang, merupakan perkecualian karena di dukung adanya sumber daya minyak di anjungan dan lepas pantai.

Kepustakaan

Atmojo, Bambang Sakti Wiku. 2002. Penelitian Arsitektur Makam Raja-Raja di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
————————————. 2009. Peninggalan Arkeologi Islam di Kota Kuna: Pontianak, Mempawah, dan Ngabang. Berita Penelitian Arkeologi Vol. 3 No.1. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 36-61.
Chazine, Jean-Michel. 2005. Rock-art, Burials, and Habitations: Cave in East Kalimantan. Asian Perspectives, Vol. 44 No. 1; 219-230.
Chazine, Jean-Michel and Jean-George Ferrié. 2008. Recent Archaeology Discoveries In East Kalimantan, Indonesia. IPPA Bulletin 28; 16-22.
Jatmiko, Nasrudin, dan Bambang Sugiyanto. 2004. Eksplorasi Situs Gua dan Ceruk Hunian Prasejarah di Pegunungan Marang, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi Kerjasama Penelitian Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dengan CREDO-CNRS, Maison Asie-Pasifique, Marseille France. Jakarta: Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, belum diterbitkan.
Hartatik. 2009. Kontinuitas Budaya di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Berita Penelitian Arkeologi Vol. 3 No.1. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 91-116.
Kosasih, E.A. dan Bagyo Prasetyo. 1995/1996. Survei Gua-gua di Pegunungan Muller, Kabupaten Kutai, Provinsi Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
Montana, Suwedi. 1996. Penelitian Eksploratif Arkeologi di Provinsi Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
Nasruddin. 2007. Potensi Situs Gua Hunian Kutai Timur, Dalam Karst Kutai Timur: Potensi Pusaka Alam dan Budaya di Kawasan Karst Kabupaten Kutai Timur. Sangata, Kutai Timur.
Setiawan, Pindi. 2007. Arkeologi Karst Kutai Timur. Karst Kutai Timur: Potensi Pusaka Alam dan Budaya di Kawasan Kabupaten Kutai Timur. Sangatta.
Sugiyanto, Bambang. 2004. Penelitian Gua Prasejarah di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Berita Penelitian Arkeologi No. 14. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Sugiyanto, Bambang. 2007a. Mengunjungi Museum Seni Purba di Kalimantan. Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi XXIII, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, belum diterbitkan.
————————-. 2007b. Gambar Cadas di Kabupaten Berau: Informasi Awal. Naditira Widya Vol. 1 No. 2; 131-137.
————————. 2008. Penelitian Eksploratif Gua-Gua Prasejarah di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
————————. 2009a. Penelitian Eksploratif Gua-Gua Prasejarah di Kabupaten Berau dan Kutai Timur, Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
————————-. 2009b. Gua Hunian Prasejarah di Kecamatan Mantewe, Kalimantan Selatan. Berita Penelitian Arkeologi Vol. 3 No.1. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 1-23.
Susanto, Nugroho Nur dan Gunadi. 2009. Penelusuran Pusat-Pusat Kerajaan Banjar. Berita Penelitian Arkeologi Vol. 3 No. 1. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 62-90.
Susanto, N.S. dan Nugroho H.L. 2001. Penelitian Eksploratif Pantai Timur Kabupaten Kutai, Provinsi KalimantanTimur. Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
Tim Peneliti. 2010. Penelitian Eksplorasi Arkeologi di Kepulauan Maya-Karimata, Kalimantan Barat, Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
————–. 1993. Laporan Penelitian Arkeologi Islam di Daerah Pagatan dan sekitarnya, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin, belum terbit.
Setiawan, Pindi. 2007. Arkeologi Karst Kutai Timur. Karst Kutai Timur: Potensi Pusaka Alam dan Budaya di Kawasan Kabupaten Kutai Timur. Sangatta.
*MAKALAH PIA 2011

Sumber:
https://iaaipusat.wordpress.com/2012/03/16/kajian-awal-potensi-arkeologi-di-pesisir-pantai-kalimantan/