Thursday, April 16, 2015

Herawati Sudoyo dan Jejak Migrasi Manusia Indonesia

Herawati Sudoyo dan Jejak Migrasi Manusia Indonesia

Prof Herawati Sudoyo
Herawati Sudoyo. detik


Namanya banyak disebut bila berbicara tentang biologi molekuler. Dari penentuan identitas jasad teroris di depan Kedubes Australia tahun 2004 hingga jejak nenek moyang orang Madagaskar yang ternyata dari Indonesia di tahun 2012. Ada kepakaran Prof Herawati Sudoyo (63) di balik itu.

Jalannya menjadi seorang peneliti biologi molekuler dimulai saat Herawati lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 1977 dan akhirnya menjadi pengajar biologi kedokteran di FKUI setahun setelahnya dan memutuskan memilih biologi molekuler sebagai bidangnya. 

"Karena pada waktu itu, itu adalah ilmu yang paling baru. jadi saya kan merupakan staf pengajar di departemen biologi kedokteran, itu tidak akan pernah menjadi seorang klinikus. Jadi tak ada jalan lain meniti karir kecuali lewat jalan tersebut. Jadi peneliti, jadi untuk mengajar, kita harus meneliti," jelas Herawati saat berbincang usai “Half Day Seminar on Genetic Diversity: Austronesian Diaspora” di Eijkman Institute, Jl Diponegoro 69, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2015). 

Lantas kesempatan melanjutkan PhD terbuka saat ada tawaran beasiswa dari Australia. Herawati kemudian dibimbing oleh ilmuwan Indonesia, yang sudah menjadi staf di Monash University, Prof Sangkot Marzuki, yang kemudian menjadi direktur pertama Eijkman Institute. 

"Beliau di sana kemudian ingin punya mahasiswa Indonesialah. Jadi saya dengan mahasiswa dari ITB terpilih jadi PhD student di Monash. Saya kemudian belajar di salah satu dari 4 laboratorium mitokondria terbesar di dunia. Jadi, Monash saat itu sangat kompetitif. Mereka tidak akan mau untuk menerima student setengah-setengah," celotehnya ramah.

Selulus dari Monash University, Herawati diminta sang mentor Prof Sangkot Marzuki berkarya di Eijkman Institute sejak awal institut itu didirikan di awal tahun 1990-an. Awalnya, Herawati meneliti DNA manusia Indonesia untuk menandai populasi yang bisa memetakan penyebaran penyakit, mempelajari migrasi manusia Indonesia dan asal usulnya. 

"Itu molekuler antropologi namanya. Justru di sini saya bisa memberikan gambaran masyarakat/komunitas, bahwa yang saya pelajari bisa digunakan," tutur perempuan kelahiran Kediri, 2 November 1951 ini.


Saat sedang tekun riset tentang molekuler antropologi, terjadilah bom di depan Kedubes Australia tahun 2004 lalu. Potongan jasad korban dan pelaku berceceran. Menjadi masalah saat itu untuk mengidentifikasi jasad korban dan pelaku.

"Itu kan bom bunuh diri. Sudah pasti bahwa jaringan-jaringan itu berceceran. Nah tentunya, pakai pendekatan apa kalau nggak ada sidik jari, nggak ada yang lain-lain? Nah, satu-satunyanya cara adalah dengan apa yang tadi saya bilang Mitokondria DNA uniparental dari ibu karena itu jumlah DNA-nya banyak sekali. Sehingga ada meledak atau kena kebakaran atau apa saya masih punya harapan, ada 2-3-10 yang tersisa fragmennya," imbuhnya.

Metode kerja dalam mengidentifikasi korban dan pelaku bom Australia tim Herawati menjadi sorotan karena berhasil mengidentifikasi pelaku dan korban. Sebelumnya, bila ada kasus-kasus forensik seperti bayi tertukar atau jasad dari orang hilang, selalu dikirimkan ke luar negeri karena Indonesia belum memiliki laboratorium forensik yang mumpuni. 

"Ini kan pemerintah melihat sehingga melihat kesuksesan dari effort yang dilakukan, dan kemudian juga kebutuhan. Kita nggak punya lab forensik yang bener waktu itu. Sehingga apa yang terjadi di Indonesia, selalu dikirim ke luar negeri, jadi kalau kasus yang melibatkan Australia ya dikirim ke Australia," jelas dia.

Hasil kerjanya juga mendapat sorotan saat sekitar 3 tahun lalu, meneliti jejak migrasi manusia Indonesia. Herawati beserta tiga orang peneliti lain asal New Zealand, Arizona, dan Prancis telah melakukan penelitian sejak tahun 2005 untuk menjawab misteri nenek moyang penduduk Madagaskar. 

Herawati dan tim mencocokkan 2.745 DNA penduduk Indonesia dengan 266 penduduk asal Madagaskar. Data DNA itu didapatnya dari Bank Gen dunia. Hasil yang diperoleh cukup mengejutkan, nenek moyang asli penduduk Madagaskar adalah 28 perempuan asal Indonesia yang berlayar ke Madagaskar 1.200 tahun silam. 

Kini, Herawati masih melanjutkan riset tentang nenek moyang orang Madagaskar itu, lantaran berasal dari Indonesia bagian mana 28 perempuan itu. Tak cuma itu, kini lembaga Eijkman bahkan diminta Kementerian Kehutanan untuk memetakan DNA satwa-satwa liar. 

"Kita sudah punya teknologi melakukan pemetaan keragaman genetik dari segala macam mamalia," tutur istri dari dr Aru Sudoyo ini. 

Dia yakin ilmu biologi molekuler ini akan bisa memetakan segala keragaman makhluk hidup di Indonesia, mulai dari lautan hingga daratan. Menurutnya masih banyak yang bisa dikuak dari kekayaan Indonesia ini. 

"Indonesia kaya sekali biodiversitasnya, banyak yang bisa kita kerjakan di sini, nggak usah ke mana-mana. Sedang di negara lain, mereka punya alat, teknologi, tapi tidak punya bahan biodiversitas. Kita harus memanfaatkan apa yang kita punya. Masa mesti negara luar yang memanfaatkan?" tandasnya. detik
 
- See more at: http://kabarbanjarmasin.com/posting/herawati-sudoyo-dan-jejak-migrasi-manusia-indonesia.html#sthash.Q7uZcbcA.dpuf






No comments:

Post a Comment