Sunday, November 8, 2015

MEMBAYANGKAN PAKPAK SEBAGAI ETNIS TERSENDIRI: Sebuah Renungan

MEMBAYANGKAN PAKPAK SEBAGAI ETNIS TERSENDIRI
Sebuah Renungan

Oleh: Edward Simanungkalit *

Setelah melihat di beberapa grup marga Facebook pada kalangan Orang Pakpak, maka terlihat adanya perbedaan-perbedaan dan tarik-menarik dalam diskusinya di antara satu marga.  Hal ini ditambah lagi informasi melalui pembicaraan dengan saudara-saudara dari kalangan Pakpak sendiri mengenai adanya polarisasi di kalangan marga-marga Pakpak. Tanpa menyebut marga, maka ada sebagian marga A mengatakan bahwa mereka masuk marga QV dari Toba dan ada sebagian lagi dari marga A tersebut mengatakan mereka masuk marga QW dari Toba, sehingga marga A ini menjadi dua kelompok yang tarik-menarik. Sebagian lagi ada marga B, C, dan D dari Pakpak yang bersaudara seayah, tetapi kemudian marga B dikatakan masuk marga X dari Toba, marga C dikatakan masuk marga Y dari Toba, dan marga D dikatakan masuk marga Z dari Toba. Kemudian marga X, Y, dan Z dari Toba inipun bukan satu rumpun, sehingga semakin besarlah jarak di antara marga B, C, dan D dari Pakpak tadi atau menjadi tidak bersaudara lagi kalau mengikuti marga-marga Toba tadi.
Lewat sedikit gambaran ini, maka jelas bahwa suara yang mengatakan: “Marga ini masuk marga sana.” telah membuat tarik-menarik di antara marga-marga Pakpak dan hal ini menimbulkan polarisasi bagi etnis Pakpak secara keseluruhan. Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi orang Pakpak dan jelas-jelas merugikan bagi kesatuan etnis Pakpak sebagai sebuah etnis yang mandiri. Untuk itu perlu melihat dari mana permasalahan itu bermula dan bila merunut ke belakang, maka ada sebuah buku yang didesain oleh Belanda yang menimbulkan permasalahan tadi bagai duri dalam daging.

PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak
Kata Sambutan buku ini diawali bertahun 1913 dan terakhir tahun 1926. Jadi, buku tersebut  dipersiapkan lebih dari 13 tahun. Tentulah buku ini sudah dipersiapkan sebelum tahun 1913 mengingat kata sambutannya  saja sudah ada pada tahun 1913. Buku tersebut ditulis oleh W.M Hutagalung, yang merupakan Asisten Demang di Pangururan pada waktu itu, sehingga orang ini merupakan kaki tangan Belanda yang bekerja untuk Belanda. Banyak terjadi permasalahan di seputar persiapan penulisannya, sehingga membuat buku ini tertunda terus untuk diterbitkan. Dalam keadaan bermasalah seperti tadi, penguasa Belanda memerintahkan buku itu diterbitkan, sehingga terbitlah buku tersebut pada tahun 1926 seperti yang dapat kita lihat sekarang. Kemudian isi buku tersebut disosialisasikan melalui sekolah-sekolah yang disubsidi pemerintah Belanda di masa lalu dan dikelola oleh misionaris Jerman.
Pada bagian awal buku tersebut diuraikan tentang Langit Ketujuh tempat Raja Odapodap dan Si Borudeak Parujar yang kemudian turun ke bumi melalui puncak Pusuk Buhit dan berjalan terus ke Sianjur Mulamula. Di sana mereka berdua kawin dan melahirkan Raja Ihatmanisia dan Boruitammanisia yang menjadi nenek-moyang manusia. Keturunannyalah Si Raja Batak yang menurunkan BANGSO BATAK, karena sebagian keturunannya pergi ke Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing yang membentuk Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, sedang yang menetap di Tano Toba menjadi Batak Toba. Di dalam buku tersebut seluruh marga-marga Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, dan Mandailing dirajut sedemikian rupa menjadi keturunan Si Raja Batak di dalam tarombo yang diuraikan dengan panjang lebar di dalam buku tersebut. Cara merajut marga-marga tersebut penulis sebut sebagai "jurus padomuhon langit dohot tano" sebagaimana sudah dibuat dalam tulisan sebelumnya.
Akibatnya, seluruh marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing menjadi marga Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak. Dalam kerangka pikir seperti inilah, maka disebutlah Orang Toba menjadi Batak Toba, Orang Pakpak menjadi Batak Pakpak, Orang Karo menjadi Batak Karo, Orang Simalungun menjadi Batak Simalungun, dan Orang Mandailing menjadi Batak Mandailing. Orang Toba memahaminya demikian, karena sejak abad kesembilanbelas hal ini sudah disosialisasikan oleh Belanda bekerja sama dengan misionaris Jerman dulunya dan Tano Toba diganti oleh Belanda namanya menjadi Bataklanden (Tano Batak). Padahal, stempel Raja Singamangaraja XII bunyinya: "Maharaja di Negeri Toba" atau dalam bahasa Tobanya yaitu: Tano Toba. Orang Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing dapat diperkirakan merasa asing dengan cerita asal-usul dari Sianjur Mulamula ini, karena setiap etnik ini tentulah punya mitologi yang menceritakan asal-usulnya yang bukan dari Sianjur Mulamula. Tapi, kemudian "digeser" menjadi berasal dari Sianjur Mulamula hingga dijadikan menjadi Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, sehingga keempat etnik ini "merasa dipaksa" berasal dari Sianjur Mulamula dan menjadi keturunan Si Raja Batak.
Di Sianjur Mulamula, pada tebing bukit di sana, ada tertulis Si Raja Batak dan Sianjur Mulamula asal Halak Batak, yang 5 Suku: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Demikian juga di Tomok ada gerbang selamat datang
berbentuk monumen bertulisan: Batak Toba, Batak Pakak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Hal ini sudah menguatkan isi buku tadi, bahwa di dalam pikiran pengagum buku tersebut, bahwa Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing berasal dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir. Ringkasnya dari buku tadi, bahwa Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Samosir. Inilah mitos yang dibangun melalui buku W.M. Hutagalung tersebut dan banyak buku yang ditulis kemudian didasarkan pada mitos ini.
Kemudian sejak paruh kedua tahun 1980-an, buku ini dijual lagi dengan gencarnya di toko-toko buku dan di terminal-teminal. Sampai sekarang banyak buku tersebut dijual di toko-toko buku dan di terminal seperti terminal Perluasan Siantar dan Siborong-borong. Dengan melihat panjang kurun waktu yang berlangsung tersebut, maka diperkirakan buku tersebut terjual sekitar 500.000 - 1.000.000 eksemplar. Fantastis, menggiurkan hasil penjualan buku tersebut, yang isinya hanyalah menguraikan mitologi dan turiturian (folklore) dan isinya sulit untuk dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, betapa tidak arifnya kita ini kalau hanya mewariskan mitologi dan folklore (turiturian) di abad keduapuluh satu ini di saat manusia sudah hendak pergi ke planet Mars dan hidup di era kemajuan iptek secanggih seperti sekarang ini.
Monumen Selamat Datang di Tomok

Pakpak adalah Etnis Tersendiri
Setelah melihat ke belakang, tampak jelas bahwa buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” telah menimbulkan masalah bagi kelima etnis tadi yang hendak disatukan menjadi satu rumpun dengan nama BANGSO BATAK. Mandailing sudah dari awal menolaknya melalui pengadilan, sehingga Mandailing terpisah dari Batak atau tidak termasuk Bangso Batak berdasarkan putusan pengadilan.    Sedang   Simalungun  telah menerbitkan buku:  “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (2012)  yang  ditulis oleh  sebuah 
Tim yang mumpuni sebanyak 7 (tujuh) orang, yang terdiri dari: 3 doktor (S-3) dan 4 master
(S-2). Tentu buku Etnis Simalungun ini jauh berbeda bobotnya dibandingkan dengan buku W.M. Hutagalung tadi dan patut dicatat bahwa buku ini tidak memakai kata Batak Simalungun, tetapi memakai kata Etnis Simalungun dengan kesadaran akan adanya suatu proses Tobanisasi yang telah berlangsung selama ini. Pihak Simalungun menjelaskan bahwa Kerajaan Nagur sebagai cikal-bakal masyarakat Simalungun itu berasal dari India, artinya bukan berasal dari Sianjur Mulamula. Belum lagi melihat perbedaan ras antara pendiri Kerajaan Nagur dengan penghuni awal Sianjur Mulamula. Dengan demikian, dengan menyebut Etnis Simalungun, maka Simalungun merupakan etnis tersendiri yang terpisah dari Batak atau tidak termasuk dalam Bangso Batak. Kemudian pihak Karo memperkuat dirinya dengan memutuskan Merga Silima yang bukan berasal dari Sianjur Mulamula meneguhkan Karo sebagai sebuah etnis tersendiri dan mandiri.
Pihak Pakpak masih belum memperlihatkan dirinya tampil sebagai etnis tersendiri yang berakar pada sejarah dan budayanya sendiri. Pakpak memiliki masyarakat, tanah ulayat, bahasa, budaya, dan sejarahnya sendiri, yang sudah menunjukkan bahwa Pakpak merupakan etnis tersendiri. Lebih jauh lagi, bahwa buku: “ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula” telah mengemukakan hal ini berdasarkan migrasi

leluhur sejak awal adanya manusia di Sumatera bagian Utara. Periode pertama setelah Sundaland tenggelam, maka Orang Negrito datang bermigrasi ke Sumatera pada masa Mesolitik sekitar 10.000 - 6.000 tahun lalu dari Teluk Tonkin, Vietnam. Kemudian para penutur Austroasiatik datang bermigrasi dari Vietnam-Kamboja-Khmer ke Sumatera melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 4.300 - 4.100 tahun lalu. Disusul lagi para penutur Austronesia datang bermigrasi dari Taiwan ke Sumatera melalui Filipina pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia sama-sama berasal dari Yunan di Cina Selatan yang merupakan ras Mongoloid. Selanjutnya, orang-orang dari India Selatan datang bermigrasi ke Sumatera bagian Utara pada masa tahun masehi mulai sekitar abad ketiga. 
Keempat kelompok inilah yang membentuk Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing, sementara Toba sangat sedikit sekali dipengaruhi pendatang dari India Selatan yang mungkin oleh karena berada di tengah-tengah pedalaman. Jadi, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing terbentuk sendiri-sendiri. Walaupun kemudian ada beberapa marga saling bermigrasi antar sesama etnis dan sesama etnis bertetangga tersebut terjadi saling pengaruh-mempengaruhi, tetapi masing-masing etnis ini sudah terbentuk secara sendiri-sendiri sebelumnya.
Berdasarkan migrasi leluhur tadi, Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing merupakan campuran tiga ras: negrito-mongoloid-india, sedang penghuni awal Sianjur Mulamula berasal dari ras Mongoloid. Bila mengikuti buku W.M. Hutagalung tadi, maka Si Raja Batak (mongoloid) menurunkan Batak Pakpak - Batak Karo - Batak Simalungun - Batak Mandailing (negrito-mongoloid-india). Jadi, kerangka pikir W.M. Hutagalung di dalam buku di atas ringkasnya begini: mongoloid menurunkan negrito-mongoloid-indiaJelas, ini menyalahi pikiran sehat, karena ras  mongoloid hanya dapat menurunkan ras mongoloid juga. Inilah kesalahan fundamental dari buku W.M. Hutagalung tadi. Atas dasar itu, maka kesimpulan selanjutnya, bahwa Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak seperti ditulis oleh W.M. Hutagalung tadi sebelumnya.
     Konsekwensi logis daripada itu, maka marga-marga Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing bukanlah keturunan Si Raja Batak seperti yang ditulis W.M. Hutagalung  dalam uraiannya mengenai tarombo Bangso Batak. Walaupun ada marga-marga tertentu yang bermigrasi dari Toba ke tanah Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing, tetapi bukan menjadikan Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak. Itupun harus dicermati dengan lebih dalam, sedang kesamaan bunyi di dalam marga itupun tidak memastikan bahwa marga yang sama itu memiliki hubungan genealogis. Apabila perlu, maka hubungan marga-marga yang dipertanyakan tersebut dilakukan tes DNA, agar otentik dan valid. Sekarang ini sudah ada lembaga yang memberikan jasa tes DNA tersebut bahkan ada yang sudah menyebutkan tarif $ 99 USD per-orang seperti www.23andme.com. Oleh karena itu, kenapa mesti mencari turiturian untuk mempelajari  hubungan marga-marga? Turiturian tidak dapat diverifikasi dan turiturian bukanlah sejarah, sebab sejarah memiliki kurun waktu yang jelas, sedang turiturian kabur dan gelap. Sekaranglah saatnya mengatakan: "Tidak!" terhadap buku W.M. Hutagalung tersebut. Inilah renungan bersama saudara-saudara dari kalangan Pakpak. Sungguh, kebenaran itu memerdekakan. Salam Bhinneka Tunggal Ika dalam persaudaraan sebangsa dan setanahair. ***

Tebing di Sianjur Mulamula bertulisan: 
BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAKPAK, BATAK SIMALUNGUN 
keturunan SI RAJA BATAK di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir
Sementara nenek-moyang KARO dan SIMALUNGUN datang dari pantai Timur Sumatera bagian Utara serta
nenek-moyang PAKPAK dan MANDAILING datang dari pantai Barat dan Timur Sumatera bagian Utara.
Jadi, PAKPAK-KARO-SIMALUNGUN-MANDAILING bukan berasal dari Sianjur Mula-mula,
sehingga bukan keturunan Si Raja Batak.



(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban


No comments:

Post a Comment