BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK
DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (6 - Habis)
Oleh: Edward Simanungkalit *
Sumatera Utara merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh berbagai etnis yang populasi etnis tersebut cukup banyak. Di sebelahnya Provinsi Aceh, Provinsi Riau, dan Provinsi Sumatera Barat. Di Sumatera Utara sendiri terdiri dari 8 etnis, yaitu: Melayu, Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola, Mandailing, “Batak” Toba, dan Nias. Pakpak, Karo, Simalungun, Toba, Angkola, dan Mandailing disebut oleh para antropolog sebagai “Batak”, bahkan ada penulis sejarah “Batak” berusaha menjadikan Nias sebagai bagian dari “Batak”. Akan tetapi, Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Nias tersebut keberatan disebut “Batak”. Secara khusus, Pakpak sangat keberatan disebut “Batak” melampaui etnis lainnya, karena arti kata “Batak” itu sendiri dalam bahasa Pakpak adalah “babi”, sehingga dapat dimengerti kalau mereka sangat keras menolak disebut “Batak”. Meskipun demikian, para leluhur dari semua etnis setempat di Sumatera Utara tadi satu-persatu akan ditelusuri asal-usulnya, sehingga menjadi terang-benderang tentang semua etnis tersebut.
Raja-Raja Karo
Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak, yang sudah malang-melintang selama 38 tahun melakukan pelelitian arkeologi prasejarah di Indonesia ini sudah menulis lebih dari 150 karya tulis yang telah dipublikasikan. Doktor arkeologi prasejarah lulusan dari Perancis ini, selain sebagai Professor Riset di Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dia juga Peneliti dan Direktur dari Center for Prehistoric and Austronesian Studies (2006 - sekarang). Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahwa ras Australomelanesoid telah lebih dulu datang ke Sumatera dan mereka yang pertama datang setelah Sundaland tenggelam.
Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dari Kamboja dan Vietnam, sedang penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Sedang pada masa sejarah, orang-orang India Selatan datang lagi ke Sumatera pada sekitar abad ke-3 Masehi, sehingga terjadi juga pengaruh India Selatan terhadap Karo, Pakpak, Simalungun, dan Mandailing.
Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi telah dilakukan oleh P.V. van Stein Callenfels di Deli Serdang dekat Medan (1925), H.M.E. Schurman di Langkat dekat Binjai (1927), Kupper di Langsa (1930), Edward MacKinnon di DAS Wampu (1973, 1976, 1978), Harry Truman Simanjuntak & Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan di Aceh Tengah (2011) dan di Bener Meriah, Aceh (2012). Temuan fosil di Loyang Mandale, Aceh Tengah diperkirakan berusia 8.430 tahun. Penelitian arkeologi dengan melakukan ekskavasi ini telah menemukan kapak Sumatera (Sumatralith) yang terkenal itu dan menemukan bahwa ras australomelanesoid telah datang melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara ini pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.
Berdasarkan fosil yang ditemukan di Loyang Mandale, Aceh Tengah (Gayo) yang berusia 7.400 tahun pada waktu itu (sedang temuan terbaru 8.430 tahun), maka dilakukan tes DNA terhadap fosil yang ditemukan dan sampel darah 300 lebih siswa/i Orang Gayo di Takengon. DR. Safarina G. Malik dari Eijkman Institute menyatakan, bahwa mereka itu adalah keturunan dari fosil tadi dan kekerabatan genetik antara populasi Gayo dengan Karo sangat dekat. Hal ini dikarenakan Orang Karo yang berada di dekat penelitian arkeologi tadi merupakan keturunan dari ras Australomelanesoid, yang penulis sebutkan dalam tulisan ini sebagai Raja-Raja Karo, yang datang pada masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu. Mereka ini juga yang datang ke Humbang menjadi Raja-Raja Toba dan sampai ke selatan Sumatera. Itu sebabnya hasil tes DNA Orang Minangkabau, Orang Riau, dan Orang Melayu juga menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan mereka ini. Semuanya ini cocok dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. DR. Harry Truman sebelumnya.
Raja-Raja Simalungun
Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik datang dari Kamboja dan Vietnam pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu, sedang penutur Austronesia dari Taiwan menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Keduanya adalah ras Mongoloid yang berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras Australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, yang penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Simalungun, yang menurunkan Orang Simalungun. Disusul penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia pada masa Neolitik di sekitar tahun 6.000 – 2.000 tahun lalu.
Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi pada millenium pertama Masehi pada sekitar abad ke-3 dan mereka mendirikan Kerajaan Nagur di tanah Simalungun. Kerajaan Nagur bangkit dan berdiri sejak abad ke-6 dan mengalami kemunduran pada abad ke-15 serta tercatat di Cina pada zaman Disnasti Sui abad ke-6 (Agustono & Tim, 2012:24, 31). Buku “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” melaporkan bahwa “… di daerah Tigadolok masih terdapat nama kampung bernama Nagur yang letaknya jauh di pedalaman dan sulit ditempuh. Berdekatan dengan kampung Nagur ini terdapat tempat keramat bernama Batu Gajah sisa candi peninggalan agama Hindu yang sudah pernah diteliti tim arkeologi dari Medan yang menurut perkiraan didirikan sejak abad ke-5 Masehi.” (Agustono & Tim, 2012:38). Kerajaan Nagur ini didirikan oleh Datu Parmanik-manik, yang selanjutnya berubah menjadi Damanik. Raja Nagur, Datu Parmanik-manik itu, berasal dari Nagpur atau Nagore, India.
Kemudian berdasarkan nama panglima Kerajaan Nagur, maka terbentuklah 4 (empat) kelompok marga di Simalungun, yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba, yang disingkat SiSaDaPur. Marga yang empat inilah marga Simalungun asli yang menjadi marga pemilik tanah di Simalungun sejak zaman dulu. Pada dasarnya Kerajaan Nagur ini tetap berkelanjutan hingga masa Raja Maropat (1400-1907) dengan Raja bermarga Damanik di Kerajaan Siantar terus berlanjut lagi pada masa Raja Marpitu (1907-1946). Demikianlah selintas kilas tentang etnis Simalungun hingga masa kerajaan-kerajaan di tanah Simalungun.
Raja-Raja Mandailing
Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur Austronesia menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya adalah ras Mongoloid yang berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Mandailing, yang menurunkan Orang Mandailing. Disusul penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia pada masa Neolitik di sekitar tahun 6.000 – 2.000 tahun lalu.
“Situs purba berupa menhir ditemukan di Runding, Mandailing Natal merupakan peninggalan dari zaman batu sebelum manusia mengenal peralatan dari perunggu. Di lokasi ini masih ditemukan “kursi batu” dengan pahatan amat sederhana, dangkal estetika, hanya berorientasi kepada fungsi, bukan keindahan” (www.mandailingonline.com, 16/05-2014).
Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi pada millenium pertama Masehi abad ke-2 atau ke-3. Mandailing sudah disebutkan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya dalam Kitab Negarakertagama sekitar tahun 1365. Candi Simangambat merupakan temuan arkeologis di Simangambat yang berasal dari abad ke-9 Masehi. Situs-situs lain terdapat di Desa Pidoli Lombang (Saba Biaro), Desa Huta Siantar (Padang Mardia), Desa Sibanggor Julu, Huta Godang (Bagas Godang) dan lain-lain. Baru-baru ini ditemukan juga situs candi di hutan Simaninggir, Siabu, Madina yang berasal dari kebudayaan Hindu - Budha pada sekitar abad 9-10 Masehi (www.mandina,go.id). Keberadaan candi-candi ini membuktikan sudah ada masyarakat dengan populasi besar dan teratur di sana pada masa lalu. Sedang Candi Portibi di Padang Lawas berasal dari abad ke-11.
Pada tahun 1025, Rajendra Chola dari India Selatan memindahkan pusat pemerintahannya di Mandailing ke daerah Hang Chola (Angkola). Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Di lokasi Padang Mardia, Huta Siantar, Panyabungan ditemukan juga situs batu bertulisan Arab bertarikh tahun 264 H (www.mandailingonline.com, 16/05-2014) atau abad ke-9 Masehi. Peristiwa yang dikenal sebagai Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925 berlanjut ke pengadilan. Akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak (wikipedia).
Raja-Raja Pakpak
Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur Austronesia menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya adalah ras Mongoloid yang berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Pakpak, yang menurunkan Orang Pakpak. Disusul penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia pada masa Neolitik di sekitar tahun 6.000 – 2.000 tahun lalu.
Orang Pakpak mempunyai versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya berdasarkan sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin, 1999/2000:16):
- Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Pakpak.
- Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan Purbaji.
- Dalam lapiken/laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
- Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
- Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Selain itu, ada juga jejak Tamil dari India Selatan di dalam masyarakat Pakpak, karena orang-orang dari India Selatan banyak datang ke Sumatera Utara sejak millennium pertama Masehi di sekitar abad ke-3. Kemiripan hasil-hasil budaya Pakpak (dengan India) merupakan buah dari kontak dagang Pakpak dengan India (Tamil). Khususnya Barus merupakan bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India terhadap budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M atau awal abad ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya kebudayaan Pakpak sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini (Soedewo, 2008, dalam https://balarmedan.wordpress.com). Parultop Padang Batanghari memiliki putri Pinggan Matio, yang dikawini Raja Silahisabungan. Pdt. Abednego Padang Batanghari menyebutkan bahwa Parultop merupakan generasi kesembilan dari marga Padang Batanghari (Tabloid TANO BATAK, Edisi Oktober 2010).
Raja-Raja Nias
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 yang menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam. Mereka ini bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau, kata Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam (Wikipedia).
Penelitian genetika terbaru menemukan, bahwa masyarakat Nias berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar 10 tahun ini, Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias (Wikipedia).
Dalam genetika orang Nias tidak ditemukan dari masyarakat Nias kuno yang hidup 12.000 tahun lalu (Kompas, 16/04-2013). DNA Nias ini sudah diperbandingkan dengan DNA Karo dan “Batak” (baca: Toba). ”Untuk membandingkannya, Van Oven mengintip darah Karo dan Batak serta menemukan marka DNA yang lebih variatif. Anehnya lagi, kedua etnis yang bertetangga wilayahnya dengan Pulau Nias ini tak memiliki dua marka genetik Nias.” (Tempo, 17/04-2013). Jelas, bahwa DNA Nias berbeda dengan DNA Toba maupun Karo.
Raja-Raja Aceh
Temuan fosil manusia di Loyang Mandale, Aceh Tengah yang berusia 7.400 tahun (temuan terbaru 8.430 tahun), maka telah dilakukan tes DNA terhadap fosil yang ditemukan tersebut dan sampel darah 300 lebih siswa/i di Takengon. Dr. Safarina G. Malik dari Eijkman Institute menyampaikan bahwa orang Aceh Gayo adalah keturunan fosil tersebut yang merupakan ras Australomelanesoid atau Orang Negrito, pendukung budaya Hoabinh. Secara genetik, Gayo ini berkerabat sangat dekat dengan Karo (Kaber Gayo, 10/12-2011; Lintas Gayo, 08/03-2012).
Raja-Raja Melayu
Sebagaimana telah dikemukakan Prof. DR. Harry Truman bahwa Ras Australomelanesoid yang seperti Papua (Negrito) datang ke Sumatera diikuti penutur Austroasiatik sekitar 4.300 tahun lalu dan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka datang pada masa prasejarah yang diikuti kemudian orang-orang India Selatan pada millenium pertama sekitar abad ke-3 Masehi. Orang Melayu berada di sekitar dilakukannya ekskavasi arkeologi di daerah Deli Serdang dan Langkat yang membuktikan kedatangan orang-orang Negrito, pendukung budaya Hoabinh pada masa Mesolitik sekitar 10.000-6.000 tahun lalu. Hasil tes DNA Melayu ini terdapat unsur Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan India ditambah lain-lainnya, sehingga mereka sudah berada di Sumatera Utara pada masa prasejarah.
Raja-Raja Toba
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong, yang sekarang berada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba dan Bernard K. Maloney sendiri sudah menulis beberapa buku tentang hal ini.
Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa.hawaii.edu; www.lib.washington.edu). Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama Raja-Raja Toba, karena hanya menurunkan Orang Toba. Jadi, Raja-Raja Toba bukan satu orang figur, tetapi lebih dari satu orang atau banyak orang dan mereka itu yang menurunkan Orang Toba terbukti dari DNA-nya (2015:31-35).
Si Raja Batak
Selama ini Si Raja Batak disebut-sebut adalah nenek-moyang Bangso Batak atau Suku Batak. Si Raja Batak disebutkan nama kampungnya Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, yang sekarang berada di daerah Kabupaten Samosir. Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), bahwa Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh. Berbagai tulisan maupun buku-buku sejarah “Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula. Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut merupakan kampung awal Bangso Batak (2015:1-11).
Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan bahwa keturunan Si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk Bangso Batak, yaitu: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing merupakan keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba.
Dengan demikian, selain keturunan Si Raja Batak, maka seluruh marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak Toba juga yang kesemuanya disebut Bangso Batak atau Suku Batak, sehingga Batak Toba merupakan induk dari marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing. Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak yang merupakan keturunan Raja Asi-asi, sedang sebagian lagi menyebut keturunan Raja Jau. Kemudian disebutkan juga tentang Raja Aceh yang pergi ke Gayo. Akan tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah dapat diperkirakan pengaruhnya demikian luas. Setelah Bibel, Buku Ende, dan Almanak Gereja, sepertinya buku inilah yang paling banyak dibeli masyarakat terutama masyarakat Toba.
Pada tebing bukit di Sianjur Mulamula, Samosir ada dibuat tulisan: “PUSUK BUHIT – SIANJUR MULAMULA – MULA NI HALAK BATAK – 5 SUKU: BATAK TOBA, BATAK MANDAILING, BATAK KARO, BATAK PAPPAK, BATAK SIMALUNGUN”. Selanjutnya, Monumen Pintu Gerbang Tomok memuat tulisan: BATAK TOBA, BATAK SIMALUNGUN, BATAK MANDAILING, BATAK ANGKOLA, BATAK PAKPAK, BATAK KARO. Sementara dalam website Pemkab Samosir, tentang Si Raja Batak ini ditulis sebagai berikut: “Si Raja Batak, yang tinggal di Kaki Gunung Pusuk Buhit mempunyai dua putra, yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon. Kemudian nama dua putra ini menjadi nama dari dua kelompok besar marga Bangso Batak, yaitu Lontung dan Sumba. Dari kedua kelompok marga ini lahirlah marga-marga orang Batak, yang saat ini sudah hampir 500 marga. Sampai saat ini orang Batak mempercayai bahwa asal mula Bangso Batak ada di Pusuk Buhit Sianjur Mulamula.” (www.samosirkab.go.id).
Kemudian mengenai masa hidup Si Raja Batak ini, maka dikemukakan beberapa pihak sebagai berikut:
Richard Sinaga, dalam bukunya "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" (1997) mengemukakan bahwa masa hidup Si Raja Batak kira-kira pada tahun 1200 Masehi atau awal abad ke-13 Masehi.
Batara Sangti Simanjuntak, dalam bukunya berjudul “Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi.
Kondar Situmorang, dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26 September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987, dengan judul “Menapak Sejarah Batak”, mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada pada tahun 1475 Masehi.
Sarman P. Sagala, dalam website Pemkab Samosir mengatakan, bahwa Si Raja Batak hidup pada tahun 1200 atau awal abad ke-13 (http://dishubkominfo.samosirkab.go.id/).
Ketut Wiradnyana, arkeolog Balai Arkeologi Medan yang telah melakukan penelitian arkeologi di Samosir, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengatakan bahwa orang Batak pertama di Sianjurmulamula dan mereka telah bermukim di sana sejak 600-1000 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Prof. Dr. Uli Kozok, dalam seminar “Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal Usul Orang Batak” di Unimed (Jumat, 09/01-2015), mengemukakan bahwa Si Raja Batak lahir sekitar 600-800 tahun yang lalu (http://humas.unimed.ac.id).
Demikianlah telah diuraikan di atas tentang masa hidup Si Raja Batak sebagaimana dikemukakan tadi keseluruhannya berkisar antara 500-1000 tahun lalu atau tidak lebih dari 1000 tahun. Tebing di Sianjur Mulamula.
Sejarah Harus Ditulis Ulang
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Si Raja Batak itu disebutkan menurunkan Bangso Batak, yaitu: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Oleh karena namanya Si Raja Batak, makanya keturunannya menyandang kata “Batak” juga seperti halnya marga. Seperti itulah pemahaman di Toba, yang diyakini bahwa semua yang disebutkan tadi menyebar dari Sianjur Mulamula, sehingga bila ada pihak yang mengatakan bahwa mereka bukan Batak, maka itu dipahami sebagai durhaka, karena menyangkal leluhurnya. Demikianlah pemahaman di Toba, sehingga membuat mereka sulit menerima pernyataan pihak-pihak tadi yang mengatakan “bukan Batak”, karena menganggap Si Raja Batak mempunyai hubungan genealogis dengan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing.
Telah dikemukakan di atas bahwa jumlah marga-marga dari Bangso Batak atau Suku Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak sekitar hampir 500 marga dari Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing (termasuk Angkola). Jadi, berdasarkan uraian tadi, maka Tanah Toba, Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing sebelumnya kosong. Baru setelah Si Raja Batak datang ke Sianjur Mulamula dan keturunannya mulai berkembang barulahlah mereka menyebar ke daerah-daerah tersebut, maka terbentuklah Bangso Batak seperti yang disebutkan tadi. Pertanyaannya, benarkah masing-masing daerah ini adalah tanah kosong yang belum didiami oleh manusia sebelum keturunan Si Raja Batak datang mendiami tanah kosong tersebut? Tentu tidak demikian, karena sudah banyak manusia datang ke seluruh daerah di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir.
Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, Raja-Raja Mandailing, Raja-Raja Pakpak, dan Raja-Raja Toba telah lebih dulu berdiam di Sumatera Utara yang datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu (2015:41-42), sedang masa hidup Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula itu sekitar 500 – 1.000 tahun lalu atau paling lama 1.000 tahun lalu. Ditambah lagi penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang bermigrasi ke Tanah Karo, Tanah Simalungun, Tanah Mandailing, dan Tanah Pakpak yang datang pada masa Neolitik di sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu, yang dimenangkan penutur Austronesia, sehingga menjadikan bahasa Karo, bahasa Simalungun, bahasa Mandailing, dan bahasa Pakpak termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi bermigrasi ke Tanah Karo, Tanah Simalungun, Tanah Mandailing, dan Tanah Pakpak pada millenium pertama di sekitar abad ke-3 Masehi.
Dengan demikian, Si Raja Batak adalah pendatang baru di Sianjur Mulamula yang kedatangannya memiliki selisih waktu setidaknya 5.000 tahun lebih dulu Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, Raja-Raja Mandailing, Raja-Raja Pakpak, dan Raja-Raja Toba. Itu sebabnya dapat dipastikan bahwa Orang Karo, Orang Simalungun, Orang Mandailing, dan Orang Pakpak bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukanlah keturunan Si Raja Batak. Kalaupun terjadi migrasi marga-marga tertentu dari Toba ke daerah Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak, maka hal itu bukan berarti menjadikan etnis Karo, etnis Simalungun, etnis Mandailing, dan etnis Pakpak berasal dari Toba. Kalaupun W.M. Hutagalung dan penulis-penulis Sejarah “Batak” lain menyebutkan dan mengklaim bahwa semua marga Karo, marga Simalungun, marga Mandailing, dan marga Pakpak berasal dari Toba sebagai keturunan Si Raja Batak, maka hal itu jelas tidak sesuai dengan fakta.
Etnis Karo, etnis Simalungun, etnis Mandailing, dan etnis Pakpak sudah berdiam di tanahnya masing-masing sebelum Si Raja Batak datang. Mereka masing-masing menggunakan bahasa Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian masing-masing etnis ini terjadi migrasi ke luar dan ke dalam termasuk dari Toba, sehingga terjadi percampuran dan mereka mengalami perkembangan budaya. Kalaupun ada migrasi dari Toba, maka bukan berarti Toba menjadi induk dari masing-masing etnis ini. Setiap etnis memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Dengan demikian, masing-masing etnis pada dasarnya terbentuk sendiri, sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah “Batak” lainnya.
Etnis Nias sudah berdiam di pulau Nias sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Nias yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Mereka nyaris tidak mengalami percampuran di masa lalu, karena jauh dari daratan Sumatera dan setelah terjadi migrasi baru terjadi percampuran sedikit sehubungan dengan transportasi yang semakin baik setelah Indonesia merdeka. Sebagai sebuah etnis, Etnis Nias memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Nias yang sekarang dan pada dasarnya etnis Nias terbentuk sendiri, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti yang dikemukakan oleh penulis-penulis sejarah Batak.
Etnis Aceh (Gayo) dapat dipastikan bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali. Etnis ini sudah terlalu tua jika hendak dibandingkan dengan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula, karena etnis ini sudah ada pada masa prasejarah sementara Si Raja Batak datang pada millenium kedua di Sianjur Mulamula. Dengan demikian, etnis Aceh (Gayo) bukanlah berasal dari Sianjur Mulamula dan bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali seperti yang dikemukakan oleh W.M. Hutagalung.
Etnis Melayu sudah berdiam di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka telah mulai terbentuk sejak masa prasejarah oleh orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia dan masih terus bercampur pada masa sejarah seiring dengan datangnya para migran dari Asia Daratan. Dengan demikian, jelaslah gambaran masyarakat di Sumatera Utara di masa lalu yang membentuk berbagai etnis secara sendiri-sendiri.
Akhirnya, turiturian (folklore) dan tarombo yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) yang berpangkal kepada figur Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Samosir terbukti secara prinsip tidak sesuai dengan fakta. Oleh karena itu, sejarah harus ditulis ulang.
Penutup
Setelah terang-benderang mengenai leluhur berbagai etnis di Sumatera Utara, maka jelas bahwa Si Raja Batak adalah pendatang baru, karena leluhur seluruh etnis di Sumatera Utara telah lebih dulu berdiam di Sumatera Utara dan memiliki keturunan. Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Nias lebih tua dari Si Raja Batak, sehingga Si Raja Batak bukanlah nenek-moyang Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Nias. Jadi, Si Raja Batak bukanlah nenek-moyang Bangso Batak. Dengan demikian, Toba juga bukan induk dari etnis Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing, karena masing-masing etnis ini sudah ada sebelum Si Raja Batak datang ke Sumatera Utara, sehingga Toba bukanlah induk Bangso Batak. Konsekwensi logisnya, maka Bangso Batak pun tidak ada. ***
(*) Pemerhati sejarah peradaban alternatif
Tulisan ini terkait dengan tulisan-tulisan sebelumnya:
- ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya
- ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito
- ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar
- PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA
- ORANG TOBA DAN SIANJURMULAMULA
- ORANG TOBA DENGAN TAROMBO SIANJUR MULA-MULA
- SI RAJA BATAK ATAU SI RAJA TOBA?
- ORANG SIMALUNGUN KETURUNAN SI RAJA BATAK DARI SIANJUR MULAMULA – PUSUK BUHIT; FAKTA ATAU MITOS?
- ORANG PAKPAK: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
- ORANG KARO: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
- ORANG SIMALUNGUN: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
- ORANG MANDAILING: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
- MEMBAYANGKAN PAKPAK SEBAGAI ETNIS TERSENDIRI: Sebuah Renungan
- HALAK TOBA – ORANG
- TOBA BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (1)
- BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (2)
- BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (3)
- BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (4)
- BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (5)
- BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (6 - Habis)
No comments:
Post a Comment