Friday, March 27, 2015

Kontroversi Evolusi Manusia Antara Metode Genetika dan Morfologi

Kamis 14 Maret 2002
Kontroversi Evolusi Manusia 
Antara Metode Genetika dan Morfologi

Perdebatan asal-usul manusia di antara para ilmuwan masih belum menemukan titik cerah. Sebuah penemuan baru mengukuhkan pendapat sebagian antropolog dan arkeolog bahwa ada kemungkinan manusia meninggalkan benua Afrika sekurangnya dalam tiga gelombang migrasi. Penemuan ini melahirkan ide bahwa manusia modern (homo sapiens) mempunyai hubungan keturunan dengan manusia zaman dulu (homo erectus dan neandertal) yang lebih dulu bermigrasi dari Afrika. Dalam perdebatan asal-usul manusia yang telah berlangsung 15 tahun, ada semacam konsensus antar ilmuwan bahwa homo erectus, perintis manusia modern, berasal dari Afrika. Mereka ini meluaskan populasi ke wilayah Eurasia dimulai sekitar 1,7 juta tahun lalu. 

Pernyataan ini memunculkan dua anggapan. Anggapan pertama adalah manusia modern yang berasal dari Afrika bisa menyebar ke beberapa tempat di dunia. Sedangkan anggapan kedua berupa kontroversi bahwa bentuk tubuh manusia modern menggantikan bentuk manusia terdahulu dengan proses asimilasi, yaitu kawin campur antar dua kelompok itu. Asimilasi "Ada beberapa tempat di dunia seperti Timur Tengah dan Portugal di mana ditemukan fosil yang menyerupai perpaduan antara manusia zaman dulu dengan manusia modern," demikian komentar yang dilontarkan Rebecca Cann, ahli genetika dari University of Hawaii kepada National Geographic. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika terjadi asimilasi apakah sebagian genetika keturunan manusia zaman dulu bisa masuk ke dalam ruang gen manusia modern? Jika benar terjadi percampuran antar keduanya dan kita tidak mempunyai kesamaan dengan gen tersebut, bagaimana itu bisa terjadi? Ketidaksamaan ini terindetifikasi dari direct nucleus acid (DNA) mitokondria dan data kromosom Y. 

Alan Templeton, ahli genetika dari Washington University yang memimpin studi penelitian ini menyimpulkan bahwa memang terjadi perkawinan campur antar dua kelompok berbeda ini. "Secara genetika kita mempunyai banyak kesamaan dengan manusia zaman dulu dengan melalui proses evolusi tunggal yang berlangsung lama," demikian pendapat Templeton. Untuk bisa sampai pada kesimpulan ini, Templeton melakukan analisis statistik terhadap 11 pohon haplotype. Haplotype adalah sekumpulan DNA yang mengandung variasi gen yang diyakini para peneliti sebagai satu unit generasi yang berhasil berkembang biak. Dengan membandingkan perbedaan genetika dalam populasi haplotype, peneliti berharap bisa melacak terjadinya evolusi manusia. Templeton juga menyimpulkan bahwa manusia modern meninggalkan benua Afrika dalam beberapa gelombang migrasi. Yang pertama terjadi 1,7 juta tahun lalu, berikutnya antara 800.000 - 400.000 tahun lalu. Gelombang ketiga terjadi pada 150.000 - 80.000 tahun lalu. 

Sementara itu Alison S. Brook, seorang ahli paleantropologi di George Washington University sedikit sangsi dengan kesimpulan yang diambil Templeton. Menurut Brook, secara arkeologis, memang masuk akal bahwa penyebaran manusia dari Afrika terjadi berkali-kali. Misteri yang belum terpecahkan adalah apakah semua manusia yang bermigrasi dan melakukan kawin silang itu bisa bertahan hidup. Templeton menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa tidak semua hasil kawin silang itu bisa bertahan hidup. Sebagian yang bertahan hidup menempati wilayah Eurasia sampai keturunannya saat ini. Brook menyanggah pernyataan Templeton dengan menganggap kesimpulan tersebut tidak bisa berlaku bagi sebagian besar pemikiran genetika antar ilmuwan. 

Temuan fosil menunjukkan bahwa 100.000 tahun lalu beberapa spesies hominid berpopulasi di planet Bumi. Homo sapiens ditemukan di Afrika dan Timur Tengah. Homo erectus yang mirip dengan Java Man dan Peking Man ditemukan di Asia Tenggara dan Cina. Dan Neandertal menyebar di Eropa. Sekitar 25.000 tahun lalu, satu-satunya spesies hominid yang bisa bertahan hidup adalah homo sapiens. Para ilmuwan meneliti jumlah genetika kedua kelompok manusia, yaitu homo sapiens dan homo erectus dan melakukan riset arkeologi bagaimana ini bisa terjadi. Beda Genetika Kesangsian Brook didukung oleh Prof.Dr. Sangkot Marzuki, ahli molekuler Indonesia dari Eijkman Institute. "Jarak genetika antara homo sapiens dengan homo erectus sama jauhnya dengan manusia dengan simpanse. Secara logika, mungkinkah kedua genetika berbeda ini mengadakan kawin silang?" Namun secara pribadi Sangkot tidak menentang dugaan adanya kemungkinan itu. 

Dilihat dari temuan fosil di beberapa tempat Eropa, terlihat adanya perpaduan antar kedua kelompok manusia berbeda ini. "Kalau dilihat dari bukti tersebut tetap ada kemungkinan adanya asimilasi. Apakah hasil asimilasi itu bisa bertahan, sangat kecil kemungkinannya," komentar Sangkot. Ia memberi ilustrasi bagaimana ayam hutan yang dikawinkan dengan ayam kampung bisa menghasilkan keturunan tetapi hasilnya adalah ayam mandul. Maka bisa saja homo sapiens berasimilasi dengan homo erectus tetapi menghasilkan keturunan yang tidak bisa bertahan hidup lama. Tidak heran kalau ada temuan fosil yang secara morfologi memperlihatkan perpaduan antar kedua kelompok ini. Sangkot menjelaskan bahwa secara genetika tidak ada persamaan sama sekali antara manusia modern kini dengan manusia zaman dulu yang fosilnya banyak ditemukan di berbagai tempat. Manusia modern yang kini ada berasal dari Afrika, sama sekali tidak mempunyai hubungan genetika dengan homo erectus maupun neandertal. Penelitian ini adalah hasil dari analisis yang dilakukan terhadap 12.000 gen manusia modern di Asia Timur beserta kromosom Y-nya. Penemuan ini tahun lalu direkomendasikan ke ilmuwan lain di Amerika dan Eropa dan dipublikasikan di jurnal Science. 

Ada dua teori primer mengenai asal muasal manusia yang menjadi perdebatan, yakni teori "Out of Africa" dan teori multi regional. Masing-masing mempunyai variasi tersendiri, seperti kemungkinan terjadinya asimilasi antar dua kelompok manusia. Setiap teori didukung oleh bukti-bukti eksis. Teori multi regional yang didasarkan atas penemuan fosil menyatakan bahwa setiap anggota homo erectus pertama kali meninggalkan Afrika sekitar 1,7 juta tahun silam. Mereka ini menetap di beberapa tempat di dunia dan berkembang biak secara terpisah, namun menghasilkan keturunan yang sama, yaitu homo sapiens. Sedangkan teori "Out of Africa" lahir berdasarkan bukti DNA. Teori ini mempunyai persamaan skenario bahwa migrasi dari Afrika terjadi 1,7 juta tahun lalu. Evolusi berlanjut dan secara anatomi, manusia modern muncul di Afrika antara 200.000 dan 100.000 tahun lalu. Mulai 100.000 tahun silam, manusia modern ini menyebar ke luar benua dan membuat rute ke Asia dan Eropa. Di sanalah mereka berkembangbiak dan menggantikan kedudukan spesies sebelumnya, homo erectus. 

Berbeda dengan pernyataan Templeton, teori "Out of Africa" sama sekali tidak mendukung ide tentang terjadinya kawin silang antar manusia zaman dulu dan manusia modern. Demi menjelaskan pernyataannya tentang kawin silang itu, Templeton menguraikan bahwa manusia memperlihatkan sebuah pola isolasi jarak. Dari pengamatannya terlihat adanya beberapa tingkatan perbedaan genetika antar populasi manusia. "Bagaimana pun, inter koneksi genetika telah terjadi dalam populasi manusia dan ini terjadi karena adanya tekanan dari ekspansi teori ‘Out of Africa’," demikian penjelasan Templeton. Sementara Brook berpendapat bahwa pandangan yang dikemukakan Templeton merupakan kompromi baru terhadap teori yang sudah ada. Yang pasti Afrika tetap dianggap sebagai asal muasal semua manusia modern, walau manusia zaman dulu baru melakukan kawin campur dengan populasi lain setelah menempati Eurasia. 

Faktor Sosiologis adalah Fred Smith seorang paleantropologis di Northern Illinois University yang pertama kali mengajukan model asimilasi evolusi manusia. Smith berpendapat bahwa data yang dimiliki Templeton sangat mendukung ide bahwa manusia modern telah berkembang biak sejak di Afrika, baru kemudian menyebar ke benua lain dan melakukan kawin silang dengan populasi manusia zaman dulu. Argumen Smith tentang model asimilasi berdasar pada data morfologi yang bisa terlihat dari temuan fosil. Menurutnya, data ini lebih jelas daripada sekadar bukti genetika. Sedangkan Sangkot mengemukakan bahwa secara sosiologis harus pula dipertimbangkan tentang kemungkinan adanya kawin campur tersebut. Sangkot mengingatkan bahwa saat itu antara manusia modern dan manusia zaman dulu terjadi overleaping, yaitu kesempatan untuk hidup berdampingan yang sangat tipis. 

Sangkot bekerja sama dengan beberapa ilmuwan luar pernah menghasilkan teori mengenai asal muasal manusia Indonesia. Menurut mereka, manusia Indonesia yang kini ada bukanlah manusia asli Indonesia. "Kita ini adalah keturunan manusia yang berasal dari tempat lain. Secara genetika tidak ada persamaan antara kita dengan fosil yang ditemukan di banyak tempat di Indonesia. Jelasnya kita sama dengan manusia modern lain, yaitu berasal dari Afrika. Tapi sebelum menetap di Indonesia, nenek moyang kita sempat tinggal di suatu tempat. Asal tempat inilah yang kini sedang berusaha diketahui," tutur Sangkot. (Sinar Harapan)


Sumber:
http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=344

No comments:

Post a Comment