Asal Usul Suku Bajo Dicari Dengan Tes DNA
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.
Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnyadirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai.
Nama “Bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut. Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo. Artinya, ya suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan sebagai suku Bajo! Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik berkepanjangan.
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”! Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu saja. Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo. Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, suku Bajo atau bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. “Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut,” ujar Lapian.
Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam itu. Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi sejarah iwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan). Namun, menurut Dr Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung. Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat\ kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.
Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnyadirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai.
Nama “bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut. Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo. Artinya, ya suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan sebagai suku Bajo!
Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik berkepanjangan. Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu.
Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”!
Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan. Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu saja.
Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnyadirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai.
Nama “bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut. Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo. Artinya, ya suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan sebagai suku Bajo!
Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik berkepanjangan. Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu.
Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”!
Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan. Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu saja.
Pada suku Bajo dikenal empat kelompok masyarakat menurut kebiasaannya bernelayan, yakni kelompok lilibu, kelompok papongka, kelompok sakai, dan kelompok lame. Kelompok lilibu adalah suku Bajo yang biasanya bernelayan di laut hanya satu atau dua hari. Mereka menggunakan perahu soppe yang dikendalikan dayung. Setelah mendapat ikan, mereka kembali ke darat, untuk menjual hasil tangkapan atau menikmatinya bersama keluarga.
Kelompok papongka berada di laut bisa sepekan atau dua pekan. Mereka menggunakan jenis perahu yang sama besarnya dengan kelompok lilibu. Sekadar perahu soppe. Bila dirasa telah memperoleh hasil atau kehabisan air bersih, mereka akan menyinggahi pulau-pulau terdekat. Setelah menjual ikan-ikan tangkapan dan mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut. Begitu seterusnya.
Bedanya dengan kelompok lilibu, mereka baru akan pulau ke rumahnya setelah seminggu atau dua minggu mencari nafkah. Pada saat kembali ke rumah, sang nelayan biasanya membawa uang dan berbagai kebutuhan rumahtangga lainnya. Jadi, tidak lagi membawa ikan tangkapan.
Kelompok sakai memiliki kebiasaan mencari ikan yang lebih dasyat lagi. Mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok papongka. Namun, wilayah kerjanya lebih luas. Bila kelompok papongka hitungannya seluas provinsi, maka kelompok sakai hitungannya antarprovinsi. Katakanlah, antarpulau. Sehingga, waktu yang dibutuhkan pun lebih lama. Mereka bisa berada di “tempat kerja”nya itu selama sebulan atau dua bulan. Karena itu, perahu yang digunakan pun lebih besar dan saat ini umumnya telah bermesin.
Kelompok terakhir, kelompok lame bisa dikategorikan nelayan-nelayan yang lebih berkelas. Mereka menggunakan perahu besar dengan awak yang besar dan mesin bertenaga besar. Karena, mereka memang bakal mengarungi laut lepas hingga menjangkau negara lain. Dan, mereka bisa berada di lahan nafkahnya itu hingga berbulan-bulan. Jadi ingat film “Perfect Storm”nya George Clooney.
Di luar empat kelompok itu, tentu saja, kita tidak bisa memungkiri warga suku Bajo yang bermukim di atas perahu. Seanomedic, istilahnya. Warga suku Bajo menyebutnya rumah palemana atau rumah di atas perahu. Karena, mereka memang bermukim dan mencari nafkah sepenuhnya di atas perahu soppenya, atau perahu beratap rumbia yang hanya dikendalikan dayung! Gampangnya, sebut saja mereka manusia perahu.
“Gila!” Demikian ungkapan spontan dari salah seorang peneliti asal Belanda ketika saya mengatakan bahwa saya telah beberapa tahun tinggal di sebuah pulau besar di sebelah timur Indonesia. Ungkapan “gila” itu tentunya memiliki banyak makna. Serupa dengan pengalaman antropolog Prancis, François-Robert Zacot yang meneliti masyarakat Bajo di Sulawesi sekitar tiga puluh tahun silam.
Ketika kembali ke negerinya di Perancis, Zacot yang tinggal cukup lama di antara orang Bajo, dianggap gila oleh lingkungan sekelilingnya. Gerakan-gerakan tangan, bentuk tubuh serta lontaran bahasa yang digunakan mengejutkan orang di negeri asalnya. Zacot telah menjadi “gila” dan ia berupaya menuliskan “kegilaannya” dalam bentuk buku yang Anda hadapi ini.
Buku ini merupakan terjemahan dari Peuple nomade de la mer: Les Badjos d’Indonésie (2002) yang diterjemahkan menjadi Orang Bajo: Suku pengembara laut. Pengalaman seorang antropolog.
Buku ini seperti yang diungkapkannya dalam prakata merupakan hasil penelitian etnografis ketika dia tinggal di tengah-tengah orang Bajo, di Pulau Nain (di utara Manado) dan desa Torosiaje (Gorontalo). Namun, di mana tepatnya kedua tempat itu tidak dijelaskan lebih lanjut. Menurut Zacot itu demi rasa hormatnya pada mereka. Oleh karena itu buku ini tak dilengkapi dengan peta yang biasanya muncul dalam hasil penelitian ilmiah.
Awalnya, Zacot ingin meneliti orang-orang gunung yaitu suku Tomini yang berdiam di sebelah barat Sulawesi Utara. Sehari sebelum keberangkatannya dari Prancis, dia kebetulan mendengar tentang suku Bajo. Suku pelaut-pelaut pengembara yang tersebar di seluruh penjuru Asia Tenggara tapi tak seorang pun yang tahu dari mana mereka berasal. Misteri asal usul suku Bajo ini mengusik Zacot dan memikatnya untuk memulai sebuah petualangan jauh dari negeri asalnya.
Dengan menggunakan pendekatan participant observer, Zacot ikut tinggal dengan suku ini ditemani istrinya Kat. Ia merasakan, membaui dan bertutur seperti orang Bajo. Zacot terlibat dalam siklus kehidupan mereka. Mulai dari kelahiran, khitanan, pernikahan hingga kematian melibatkan Zacot di dalamnya. Tidak hanya itu Zacot juga mengamati cara mendidik anak, kepercayaan pada setan-setan hingga cara membuang hajat. Ketika membuang hajat, orang Bajo di Torosiaje cenderung melakukannya dalam suasana kekeluargaan, demikian tulisnya (hal.122). Zacot pun ikut merasakan hebatnya lando, angin kencang yang mengguncang serta nyaris merobohkan rumahnya (hal.167). Kata lando ini juga dipakai para ibu untuk menakuti anak-anak mereka, selain kata bagai, motor, suntik, dan sangang/malam (hal.252)
Bagi masyarakat Bajo, lautan selalu merupakan tempat satu-satunya untuk menetap dan bertemu. Ini sesuai dengan prinsip mereka: “Kami adalah orang-orang laut.” Kelak prinsip itu mengalami dilema, bahkan mendapatkan suatu ‘ancaman’ ketika mereka dihadapkan dengan program pemerintah yang mengharuskan mereka hidup menetap. Jauh dari prinsip mereka sebagai suku pengembara laut.
Selain peri kehidupan orang Bajo, bahasa juga menjadi pokok perhatian antropolog yang meraih gelar doktornya di bidang antropologi di Paris pada 1975 ini. Bahasa orang Bajo, baong sama, memperlihatkan kekhasan masyarakat ini. Apabila mereka berada di antara sesama mereka, mereka menggunakan kata sama sebagai istilah rujukan dan untuk menunjukkan kelompok mereka. Istilah sama ini beroposisi dengan bagai yang artinya semua masyarakat lain, di luar orang Bajo. Biasanya diikuti oleh nama suku bersangkutan, misalnya bagai Gorontalo, bagai Prancis. Zacot yang mulanya dianggap bagai akhirnya diakui mereka sebagai sama, bagian dari mereka, orang Bajo.
Simak juga catatan Zacot tentang kegelisahan penduduk desa Torosiaje menghadapi gosip adanya gerombolan ‘pemenggal kepala’. Menurut cerita gerombolan itu berjumlah kira-kira puluhan hingga empat ratus orang dan datang dari Sulawesi Tengah atau dari Pulau Jawa. Beberapa orang tua Bajo yang hidup pada masa kolonial Belanda bersaksi: “Pada waktu itu kelompok-kelompok serupa mungkin ditugaskan oleh orang Belanda, berusaha mendapatkan kepala anak-anak atau perempuan-perempuan hamil untuk dikorbankan dan dikuburkan dalam semen jembatan-jembatan yang sedang dibangun. Kepala-kepala ini menjamin kekuatan jembatan-jembatan itu.” (hal.435)
Hal menarik lainnya adalah pengalaman ‘berdiskusi’ ngalor-ngidul dengan setan, ditemani sebotol anggur, kapur sirih plus kemenyan melalui perantaraan duata, seorang dukun (hal.199). Atau masalah orientasi arah di mana orang Bajo tak mengenal kata “timur”. Mereka menganggap kata itu tabu dan tak pernah menggunakannya bahkan pergi ke arah sana. Oleh karena itu kata “timur” digantikan dengan kata “selatan” (hal.383)
Upaya ‘melebur’ Zacot ke dalam masyarakat Bajo berhasil. Apalagi pengakuan suku tersebut terhadap dirinya sebagai sama dan bukan bagai. Berbagai pertanyaan dari seorang peneliti pun terjawab, khususnya asal-usul orang Bajo. Meski hal itu awalnya tak mudah. Jawaban-jawaban yang sudah tersusun pun terkadang kembali menghadapi jalan buntu. Namun, keuletan dan kesabarannya ketika berdialog dan tinggal dengan mereka membuahkan hasil.
Di Tumbak, pada suatu hari hidung Zacot gatal. Ia bersin. Spontan ia menyebutkan mantra ritual “Na mole sumanga!” (kembalilah jiwaku) seperti yang biasa dilakukan oleh orang Bajo. Sang Imam terkejut dan berkata bahwa dengan demikian Zacot boleh pulang ke Prancis karena ia telah “mengetahui semuanya” tentang Bajo (hal.466).
Ada satu hal yang harus kita pikirkan ketika membaca buku ini. Zacot ‘memperingatkan’ kita bahwa masalah besar mengancam suku Bajo pada dasawarsa terakhir. Masalah itu adalah kenyataan bahwa mereka harus hidup menetap yang merupakan salah satu program dari pemerintah. Padahal suku Bajo telah hidup di atas air selama berabad-abad (hal.12)
Membaca buku ini membuat kita kembali merenung. Negeri kita ini sangat kaya. Beragam suku dan budaya ada di sini, penuh sumber berharga tak ternilai seperti laboratorium raksasa. Inilah yang menjadi daya tarik para peneliti asing untuk datang dan berupaya meneliti. Seorang teman (WNI) yang sedang studi di Cornell University bertanya pada saya mengapa para peneliti asing itu yang justru mampu bertahan dan dapat menghasilkan penelitian hebat. Jawaban saya sederhana: karena mereka “gila”!
Universitas Haluoleo (Unhalu), Kendari, Sulawesi Tenggara akan bekerja sama dengan Universite de La Rochelle, Prancis akan meneliti DNA Suku Bajo untuk mengetahui asal usul suku pelaut itu. September 2011, MoU kerja sama akan ditandatangani.
Penelitian DNA ini merupakan salah satu bagian dati penelitian terhadap Suku Bajo. Demikian dijelaskan oleh Abdul Manan, Dosen Fakultas Pertanian Unhalu. “Penelitian bertujuan membantu mengetahui asal usul Suku Bajo,” kata Abdul saat dihubungi lewat telepon Minggu (8/5).
Selama ini, ada beragam versi yang menerangkan asal-usul Suku Bajo. Versi satu mengatakan dari Indonesia, versi lain mengatakan dari Filipina, Malaysia, dan lainnya.
Ditemui dalam Media Trip WWF di Wakatobi, Jumat (6/5) lalu, Wakil Ketua Suku Bajo se-Asia Tenggara dan Sekjen Bajo International Community Consideration (BICC), Sadar, mengatakan, “Hasil penelitian ini bisa sangat banyak gunanya bagi kami Orang Bajo.” Sadar menambahkan, kajian antropologis dan sejarah belum cukup representatif. Analisis DNA bisa membantu menerangkan. Menurutnya, selain mengetahui asal-usul suku Bajo, hasil penelitian juga bisa membantu Suku Bajo mendapatkan haknya.
Suku Bajo lahir dan hidup di laut sehingga punya ketangguhan mengarungi lautan. Meski kini banyak yang tinggal di darat, ketergantungan terhadap laut belum hilang. Banyak dari mereka yang masih berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat Bajo kadang dianggap bajak laut dan perusak, padahal mereka memiliki kearifan dalam mengelola ekosistem laut.
Sekelumit kehidupan Suku Bajo bisa disimak dalam film The Mirror Never Lies yang kini tayang di bioskop. (Yunanto Wiji Utomo)
Tentang suku bajo, tersebar di banyak tempat di Indonesia.Juga diberbagai negara termasuk Thailand.Meski demikian, bahasa yang digunakan tetap sama, bahasa Bajo.Ada dua versi sejarah suku Bajo, pertama ada yang berpendapat dari Johor, tapi ada juga yang mengatakan berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan. Namun, menurut Manan, presiden suku Bajo, kalau dari bahasa, dia malah melihat ada kesamaan dengan bahasa Tagalog, Filipina.
Bajo, Bajau atau Sama Bajo juga merupakan salah satu suku di Indonesia yang menyebar ke berbagai penjuru negeri. Konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka adalah keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari ke segala penjuru negeri hingga pulau Sulawesi. Menurut cerita, sang puteri memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya lambat laun memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon menurut satu versi, sang puteri yang menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama BajoE.
Sedangkan versi lainnya menyebutkan karena tidak dapat menemukan sang puteri, akhirnya orang-orang asal Johor ini memilih menetap di kawasan Teluk Tomini, baik di Gorontalo maupun Kepulauan Togian.
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Bahkan perkampungan merekapun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas, tempat mereka mencari penghidupan. Laut bagi mereka adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan. Julukan bagi mereka sudah barang tentu sea nomads, karena pada mulanya mereka memang hidup terapung-apung diatas rumah perahu. Orang Bajo inipun menyebar ke segala penjuru wilayah semenjak abad ke-16 hingga sekitar 40-50 tahun silam (perpindahan terakhir terjadi di berbagai wilayah di NTT).
Diberbagai tempat, orang Bajo banyak yang akhirnya menetap, baik dengan inisiatif sendiri atau di’paksa’ pemerintah. Namun tempat tinggalnyapun tidak pernah jauh dari laut. Banyak orang Bajo yang akhirnya menetap, sedang lainnya masih berkelana dilautan. Mereka membangun pemukiman-pemukiman baru di berbagai penjuru Indonesia. Berikut sebagian dari tempat bermukimnya suku Bajo ini, utamanya di Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai pusat pemukimannya. Orang Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, kendati tradisinya sendiri tetap berjalan.
Dari segi bahasa, kendati orang Bajo mempunyai satu bahasa. Namun dialek mereka terpengaruh dengan bahasa-bahasa daerah tempat mereka bermukim. Seperti di kabupaten Lembata, mereka hanya berbahasa Bajo dengan kaumnya, sementara itu mereka berbahasa Lamaholot bila bertemu di pasar atau berinteraksi dengan penduduk luar kelompoknya. Pernah sekitar 6 tahun silam saya pernah membaca artikel tentang surat orang Bajo asal Sabah, Malaysia yang ingin menjalin ikatan dengan orang Bajo di Sulawesi Tengah, disertakan juga sampel bahasa Bajo yang dipakai disana pula. Namun ketika sampel bahasa Bajo Malaysia dibandingkan dengan bahasa Bajo setempat, ternyata sudah mengalami perbedaan yang sangat jauh sebagai akibat pengaruh bahasa-bahasa lainnya.
Orang Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak mengadaptasi adat istiadat orang Bugis atau Makassar. Atau juga adat istiadat Buton di Sulawesi Tenggara. Sedangkan orang Bajo di Sumbawa cenderung mengambil adat Bugis, bahkan seringkali mengidentifikasi dirinya sebagai orang Bugis/Buton di beberapa daerah. Meskipun telah ratusan tahun tinggal bersama penduduk lokal yang beragama Katolik atau Kristen di NTT, orang Bajo tetap sampai sekarang taat menganut agama Islam, dan bagi mereka Islam adalah satu-satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini. Menjaga kekayaan laut adalah salah sifat yang diemban oleh suku Bajo. Dengan kearifannya mereka mampu menyesuaikan diri dengan ganasnya lautan.
Jawa Timur
Suku Bajo diperkirakan banyak terdapat di Kepulauan Kangean, Sumenep. Umumnya mereka tinggal di Pulau Sapeken, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Paliat dan pulau-pulau sekitarnya. Mereka tinggal bersama dengan suku Madura dan Bugis.
Bali
Orang Bajo dari Kangean dan lain tidak bermukim secara eksklusif dibanding daerah lainnya. Kebanyakan ditemui di Singaraja dan Denpasar atau kawasan pantai membaur dengan masyarakat Bali dan Bugis. Ada yang tahu mungkin? Mohon bantuannya.
Nusa Tenggara Barat
Suku Bajo di pulau Lombok ditemui disebuah kampung di Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur. Sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka banyak dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya, serta kawasan Bima di belahan timur Sumbawa.
Nusa Tenggara Timur
Di Pulau Flores mereka dapat dijumpai di kawasan pesisir, mulai dari Kabupaten Manggarai Barat hingga Flores Timur (di sana ada kota bernama Labuhan Bajo yang diambil dari nama suku itu). Pemukiman mereka di Nusa Tenggara Timur antara lain di Lembata yakni di wilayah Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba. Pulau Adonara : Meko, Sagu dan Waiwerang. Sedangkan sisanya bermukim di Pulau Solor, Alor dan Timor, terutama Timor Barat. Mereka sudah bermukim disana sejak ratusan tahun silam dan hidup rukun dengan penduduk setempat. Orang Bajo juga banyak dijumpai dikawasan sekitar Pulau Komodo dan Rinca.
Gorontalo
Sepanjang pesisir Teluk Tomini, terpusat di wilayah Kabupaten Boalemo dan Gorontalo.
Sulawesi Tengah
Kepulauan Togian di Teluk Tomini, Tojo Una-Una, Kepulauan Banggai. Selain itu dimungkinkan dijumpai di pesisir Kabupaten Toli-Toli, Parigi Moutong dan Poso.
Sulawesi Tenggara
Terdapat di pesisir Konawe dan Kolaka (pulau utama). Di Pulau Muna (Desa Bangko, Kecamatan Baginti yang konon sudah ada sejak abad ke-16), Pulau Kabaena, Pulau Wolio, Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi (Kaledupa, Binongko, Kapotta dan Tomea).
Sulawesi Selatan
Terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Orang Bajo banyak tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam.
Orang Bajo juga banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.
Mengarungi Kehidupan Suku Bajo
(Berita Daerah-Budaya&Wisata) Suku Bajo itulah nama sebutan bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai yang terletak di Desa Kalumbatan, Kecamatan Totikum Selatan Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.
Jika banyak penduduk yang mendirikan rumah di daratan, tak demikian halnya dengan Suku Bajo. Mereka mendirikan rumah diatas air, di tepi pantai.
Jika banyak penduduk yang mendirikan rumah di daratan, tak demikian halnya dengan Suku Bajo. Mereka mendirikan rumah diatas air, di tepi pantai.
Suku BajoTali Kerukunan
Suku Bajo dan “No Go Area”
Foto:Berita Daerah-Togu
Mereka tak takut dengan berbagai bencana, seperti tsunami misalnya. Selama turun-temurun Suku Bajo hidup dengan mata pencaharian sebagai pelaut. Selain memancing, mereka juga menjaring serta memanah ikan.
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita.
Faktanya, banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna.
Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”. Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
Hampir seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam itu.
Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi sejarah iwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia.
Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan). Namun, menurut Dr Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung.
Perdebatan seputar asal-muasal kata Bajo pun sirna, setelah anda mengarungi perkampungan suku Bajo, yang unik dan penuh pesona. Tak percaya? Kunjungi saja Sulawesi Tengah.
Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis – Sulawesi Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan permukiman dia atas air laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo.
Suku Bajo juga terkenal sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama.
Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, social dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di natara mereka.
Kerja sama paling nyata diantara warga Bajo terlihat dalam hal mata pencaharian. Misalnya, bila satu keluarga belum mendapatkan perahu untuk menangkap ikan, yang lain pasti akan menyumbangkan perahu Cuma-Cuma. Sikap seperti inipun lahir secara spontanitas dan diwariskan turun-temurun.
Di Pulau Flores, suku ini terpusat di pulau Babi. Selain itu di pulau Pemana, Parumaan, Sukun dan bisa dijumpai hampir di setiap pesisir pantai utara hingga Labuan Bajo – kabupaten Manggarai Barat.
Nyaris tak ada suku Bajo yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat perguruan tinggi.
Kebanyak orang tua suku Bajo berpikir, sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di pemerintahan karena mereka berada di daerah yang dianggap sebagai warga pendatang. Kembali ke kampung asal Sulawesi pun dianggap pendatang karena tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat. Suku Bajo diidetifikasi dari bahasa yang digunakan. Di daerah lain mereka tidak menyebut diri suku Bajo, tetapi suku Bugis atau Makassar atau Buton.
Bajo dalam bahasa Lamaholot artinya mendayung perahu. Di beberapa tempat di di Flores Timur, kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan Bajo, yakini mendayung, alat pendayung perahu. Watan artinya pantai, atau keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu, artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan.
Lalu apa kepentingan suku Bajo untuk kabupaten Sikka? Mantan Bupati Sikka (periode 2004-2008) Alex Longginus pada tanggal 17 April 2007 ketika meresmikan gedung kantor kecamatan Magepanda meminta warga kecamatan Magepanda agar tetap membina persatuan dan kesatuan antar warga di kecamatan tersebut tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan karena semua perbedaan tersebut merupakan asset dan potensi untuk membangun masa depan bersama. Alex mengisahkan, benih persaudaraan antar etnis Flores dan suku Bajo di kecamatan itu telah terukir sejak lama dan sangat baik.
Awal kedatangan suku pelaut ini ke Magepanda adalah untuk berdagang. Ketika mulai menetap di Magepanda, mereka juga melirik dunia pertanian karena potensi hamparan Magepanda untuk persawahan cukup bagus. Saat membaur dengan warga tani setempat mereka melatih petani di sana dalam ketrampilan mengolah sawah karena mereka juga memiliki ketrampilan dalam dunia pertanian di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai lumbung beras untuk Indoensia Timur. “Alhasil kedatangan suku Bajo memberikan andil dan dampak yang cukup bagus bagi pengembangan lahan pertanian di Magepanda dan sekitarnya,” kata Longginus saat itu. Bila Magepanda saat ini mejadi salah satu daerah lumbung beras untuk Sikka maka potensi itu tidak terlepas dari sumbangan warga Bajo.
Kebersamaan warga Magepanda tergolong sukses dalam meningkatkan kehidupan ekonomi dan industri rumah tangga; itu pun tidak terlepas dari kehadiran masyarakat Bajo dan jalinan persaudaraan yang telah mengakar di sana. Masyarakat Magepanda semakin kokoh mejalin komunikasi, kerjsama dan membina persaudaraan yang sudah dibangun selama ini.
Pecahnya bangunan persaudaraan pada kotak kecil sebuah wilayah kecamatan bisa terjadi di mana-mana. Tafsiran kita, Magepanda juga menyimpan benih perpecahan dimaksud. Peta sosial ekonomi bisa jadi panah pertama yang akan dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang bukan warga Bajo dan etnis Flores. Reaksi masyarakat etnis Flores terhadap beberapa kasus yang mengakumulasi konflik antar etnis di kabupaten Sikka ternyata tidak mengganggu kehidupan warga Bajo. Mereka terlindung dan berada dalam kamar tersendiri, aman dari hentakan reaksioner.
Di luar tafsiran dan bayang-bayang tersebut di atas, pemerintahan mengapresiasikan bahwa kebinekaan dan keanekaragaman masyarakat Magepanda harus menjadi teladan dan contoh untuk masyarakat di daerah lain bahwa perbedaan budaya dan keyakinan bukan merupakan suatu hambatan untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan persaudaraan dalam membangun bersama Magepanda menuju masa depan yang lebih baik.
Foto:Berita Daerah-Togu
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita.
Faktanya, banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna.
Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”. Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
Hampir seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam itu.
Foto:Berita Daerah-Togu
Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi sejarah iwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia.
Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan). Namun, menurut Dr Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung.
Perdebatan seputar asal-muasal kata Bajo pun sirna, setelah anda mengarungi perkampungan suku Bajo, yang unik dan penuh pesona. Tak percaya? Kunjungi saja Sulawesi Tengah.
Suku Bajo adalah suku pengembara laut. Pada awalnyanya mereka hidup diatas perahu, berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Meski saat ini banyak warga suku Bajo yang tinggal di daratan, kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dari laut. Di Indonesia, permukiman suku Bajo dapat ditemukan di beberapa daerah. Suku Bajo di pulau Lombok ditemukan disebuah kampung di kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka dapat dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya, serta kawasan Bima di sebelah Timur Sumbawa. Di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur terdapat kota bernama Labuhan Bajo salah satu tempat orang bajo yang dapat dijumpai sepanjang pesisir Kabupaten Manggarai Barat hingga Flores Timur. Di Sulawesi, suku bajo menyebar di beberapa propinsi yaitu Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara serta Sulawesi Selatan. Di Gorontalo, suku Bajo terdapat di sepanjang pesisir teluk tomini yaitu di Torosiaje, Kabupaten Pohuwato dan di Tanjung Bajo, Kabupaten Bualemo.
Dibandingkan dengan permukiman suku Bajo di daerah lain, permukiman suku Bajo di Torosiaje memiliki keunikan tersendiri yaitu permukiman tersebut dibangun di atas laut yang benar-benar terpisah dari daratan. Torosiaje terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, kurang lebih 300 km ke arah barat kota Gorontalo. Terdapat jalan darat relatif mulus yang menghubungkan Kota Gorontalo dengan Desa Torosiaje. Ada dua perkampungan suku Bajo di Torosiaje. Pertama yaitu perkampungan suku Bajo di Torosiaje Jaya yang terletak di daratan, dan yang kedua perkampungan suku Bajo yang terletak di atas laut yaitu Desa Torosiaje laut.
Perkampungan suku Bajo di Torosiaje memiliki bentuk menyerupai huruf U yang terbuka ke arah laut, yang dapat dicapai dari dermaga penyeberangan di Desa Torosiaje Jaya dengan menggunakan perahu selama kurang lebih 15 menit. Cikal bakal perkampungan Suku Bajo di Torosiaje telah dimulai sejak tahun 1901. Pada awalnya mereka adalah sekumpulan pengembara yang tinggal di atas rumah perahu atau Soppe. Karena timbul keinginan untuk menetap akhirnya mereka membangun rumah panggung dari kayu di atas laut. Seiring dengan berjalannya waktu, populasi orang Bajo di Torosiaje semakin meningkat. Saat ini Desa Torosiaje laut memiliki jumlah penduduk mencapai 1027 jiwa.
Sebagai sebuah wilayah perkampungan, perkampungan suku Bajo di Torosiaje laut memiliki fasilitas cukup lengkap meski letaknya di laut. Di wilayah perkampungan tersebut terdapat klinik pengobatan, masjid, taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan gedung serba guna yang dapat dimanfaatkan sebagai lapangan bulu tangkis. Jadi bukan hanya mereka yang tinggal di darat saja yang bisa bermain bulu tangkis, mereka yang tinggal di laut pun bisa memainkan olah raga ini. Meski tidak begitu nyaman tentunya karena menimbulkan suara berdebam yang cukup keras pada lantai papan. Antar rumah warga di perkampungan ini dihubungkan dengan jembatan kayu, yang di beberapa tempat dilengkapi pula dengan atap.
Perkampungan suku Bajo Torosiaje laut ini menawarkan panorama indah. Matahari terbit dan tenggelam yang menimbulkan warna jingga di langit dapat disaksikan dengan indahnya. Perairan di sekitar perkampungan ini juga sangat jenih. Maka tidak heran jika kita dapat dengan mudah melihat ikan-ikan yang berwarna-warni berseliweran dengan indahnya tanpa harus menyelam. Bagi penggemar memancing, perairan di sekitar perkampungan suku Bajo Torosiaje merupakan surga. Ikan baronang yang seolah-olah menawarkan diri tampak jelas berenang-renang disekitar tiang-tiang penyangga rumah. Hanya dengan umpan secuil pisang, ikan bisa dengan sangat mudah didapatkan.
Sebagai desa wisata, perkampungan suku Bajo juga dilengkapi dengan fasilitas penginapan. Ada dua penginapan di perkampungan ini. Satu buah penginapan dibangun oleh Dinas Pariwisata, dan satu lagi milik perseorangan. Pada waktu-waktu tertentu seperti hari raya ketupat, yaitu tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri, disini diadakan perayaan dengan aneka perlombaan yang digelar. Jadi, tunggu apalagi untuk berkunjung ke Torosiaje?
Kampung Sampela, pemukiman Suku Bajo yang dibangun di tengah laut
DESA Mola Selatan, perkampungan suku Bajo di Pulau Wangi-Wangi, suatu siang pertengahan April 2008 lalu. Rumah La Ode Mustamin tiba-tiba dipenuhi belasan warga. Padahal sang empunya rumah, yang menjabat kepala desa, tidak sedang menggelar pertemuan.
Para nelayan Bajo ini mendadak berkumpul karena sejumlah wartawan–termasuk saya dari Tempo–bertandang ke rumah Mustamin. Seperti dikomando, mereka nimbrung ketika sang pemimpin berkeluh-kesah tentang kesulitan ekonomi yang dialami warga.
Ketua komunitas kerukunan masyarakat Bajo se-Kabupaten Wakatobi ini mengeluhkan aturan zonasi Taman Nasional Wakatobi yang ditetapkan tahun lalu. Sejumlah lokasi menjadi daerah terlarang bagi nelayan untuk menangkap ikan. “Sekarang semua serba dilarang,” kata Mustamin.
Pada Juli 2007, Balai Taman Nasional Wakatobi bersama Pemerintah Kabupaten Wakatobi serta Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan peta zonasi. Zonasi ini untuk membatasi daerah yang bisa dimanfaatkan dan yang tidak. Peta ini membagi perairan Wakatobi menjadi lima zona: zona inti, perlindungan bahari, pariwisata, pemanfaatan lokal, dan pemanfaatan umum.
Zona inti atau “no go area” adalah kawasan yang sama sekali tidak boleh dimanfaatkan atau dilintasi kapal. Zona perlindungan bahari juga terlarang untuk penangkapan ikan, meski kapal nelayan boleh melintas. Adapun zona pariwisata hanya untuk wisata. Nelayan hanya boleh menangkap ikan di zona pemanfaatan lokal dan zona pemanfaatan umum.
Zona pemanfaatan lokal inilah yang bisa dimanfaatkan nelayan setempat. Sedangkan nelayan daerah lain, asalkan mengantongi izin, bisa mencari ikan di zona pemanfaatan umum. Aturan zonasi inilah yang dikhawatirkan semakin mempersulit ekonomi warga. Suku Bajo, kata Mustamin, sangat menggantungkan hidup pada hasil laut.
Suku Bajo, Bagaimana keadaan mereka?
Jumlah penduduk suku Bajo di Kepulauan Wakatobi kini 12 ribu orang, yang tersebar di beberapa kampung. Selain Mola Selatan, ada Desa Mantigola dan Sampela di Pulau Kaledupa serta Desa Lamanggau di Tomia. Mola terbanyak penduduknya, 7.000 orang. Kampung ini juga paling “modern” dibanding kampung Bajo lain. Beberapa rumah terbuat dari tembok, sebagian beratap seng, menunjukkan sisa-sisa “kejayaan” mereka.
Jalan-jalan setapak yang melintasi kampung dibeton, seakan sudah menyatu dengan daratan. Itu berbeda dengan Kampung Sampela, yang merupakan “rumah tancap” di tengah laut, terpisah dari darat, seakan membentuk sebuah pulau sendiri. Meski lebih modern, sebagian rumah warga di Mola masih menunjukkan ciri khas perkampungan Bajo: rumah panggung dari kayu atau gedek, dengan atap daun kelapa. Kampung didirikan di atas laut, yang ditimbun karang.
Suku Bajo memang tak terpisahkan dari laut. Sejak dulu, mereka dikenal sebagai pelaut ulung, gemar mengarungi lautan Nusantara. Sejak puluhan tahun lalu, para orang tua mereka mendapat berkah dari hasil laut perairan ini. Mereka bisa menangkap ikan dan penyu di mana pun tanpa larangan.
Untuk menangkap ikan, mereka berlayar ke perairan Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, bahkan sampai ke wilayah Australia. Nelayan Desa Mola Selatan “terkenal” sering terjaring pihak berwajib Australia. “Saya pernah ditahan polisi Australia karena menangkap hiu untuk diambil sirip dan ekornya,” ujar Mujur, nelayan Bajo di Mola.
Mustamin bercerita, pada 1980-an hingga 1990-an, warga Bajo Wakatobi mengalami “masa
Suku Bajo, tak terpisahkan dari laut (Foto: Dimas)
kejayaan” berdagang penyu sisik. Penyu yang ditangkap sebagian dijual, sebagian dikembangbiakkan. Dulu mereka bisa menjual penyu sisik ukuran 60 sentimeter seharga Rp 100-200 ribu per ekor. “Penyu itu sekarang harganya jutaan,” ujarnya. Mereka menjualnya ke beberapa daerah, terutama Bali. Di Pulau Dewata, kata Mustamin, penyu laku keras karena dibutuhkan untuk upacara adat. Ia pernah menjual 200 ekor penyu sisik ke Bali sekali kirim.
Penjualan penyu memang bergantung pada besar kapal yang digunakan. “Dari berdagang penyu, tiga bulan sekali kami mendapat puluhan juta rupiah.” Setelah penangkapan penyu dilarang di seluruh perairan Indonesia, kegiatan perdagangan hewan itu merosot drastis. Pendapatan mereka sejak beberapa tahun lalu pun jauh berkurang.
Kini kesulitan itu ditambah dengan kekhawatiran soal penetapan zonasi. Meski para nelayan Bajo bisa saja mencari ikan di luar kawasan konservasi, larangan itu tak urung membuat daerah tangkapan mereka semakin sempit. Warga khawatir pendapatan mereka yang sudah berkurang makin menyusut. “Dulu pinjam uang jutaan mudah, sekarang Rp 100 ribu saja sulit,” ujar Mustamin.
Bupati Wakatobi, Hugua, mengungkapkan keresahan warga Bajo. “Manusiawi, mereka merasa terusik.” Padahal, kata Hugua, hanya 10 persen kawasan perairan Wakatobi yang tidak boleh diganggu. Meski demikian, ia mengaku tak membiarkan warga Bajo kesulitan akibat aturan itu. Belum lama ini, kabupaten mengucurkan kredit ringan Rp 20 miliar untuk masyarakat, termasuk warga Bajo.
Kredit ini untuk mengembangkan usaha di sektor perikanan dan kelautan, kerajinan, serta pariwisata. Untuk warga Bajo, kredit dikucurkan antara lain melalui program motorisasi kapal. “Untuk meningkatkan kemampuan menangkap ikan, tapi dengan alat ramah lingkungan.” Nelayan diberi pemahaman bahwa mereka masih bisa menangkap ikan meskipun selektif. Misalnya ikan yang bermigrasi sepanjang waktu dari laut dalam atau laut lepas. “Ikan laut dalam ini yang kita tangkap di Wakatobi,” kata Hugua.
Veda Santiaji, project leader The Nature Conservancy-World Wildlife Fund, mengatakan aturan zonasi dibuat untuk mengefektifkan konservasi kawasan itu. Sejak taman nasional diresmikan, 1996, sebenarnya telah dibuat peta zonasi. “Tapi sampai 2003 belum berjalan efektif,” ujarnya. Nelayan masih menangkap ikan di daerah terlarang.
Area pemijahan ikan, yang dulu tersebar di 30 lokasi, pada 2003 menyusut tinggal 12 lokasi karena penangkapan berlebihan. Penggunaan bom ikan, bius (potas), dan pukat harimau (trawl) yang merusak lingkungan masih terjadi. Terumbu karang di kawasan “segi tiga karang dunia” itu banyak yang rusak akibat praktek tersebut. “Karena itu, zonasi didesain ulang,” kata Veda.
Meski peta zonasi yang baru telah dikeluarkan tahun lalu, bukan berarti aturan ini langsung efektif. Penangkapan ikan di zona-zona terlarang masih terjadi. Penggunaan bom ikan, meski jauh berkurang, kadang dilakukan di tempat yang jauh dari pantauan. “Penggunaan potas juga masih marak.” Karena itu, kata Veda, penerapan zonasi bukan untuk membatasi hajat hidup nelayan. “Tapi justru menjamin suplai sumber daya laut demi kepentingan hajat hidup mereka di masa depan.”
Warga Bajo sendiri sesungguhnya mempersilakan aturan zonasi kawasan konservasi diterapkan. Tapi mereka tetap menanti solusi “alternatif” jika lokasi-lokasi yang mereka anggap banyak ikannya justru masuk zona terlarang. “Kami kan butuh makan,” katanya. Mereka menganggap program bantuan yang direncanakan pemerintah setempat masih belum jelas manfaat dan sasarannya. Tapi, di sisi lain, nelayan Bajo selalu menjadi pihak yang dicurigai melanggar kawasan konservasi. “Kami merasa dianggap seperti anak tiri,” ujar Mustamin.
Rumah Panggung, bentuk rumah suku bajo yang dapat di temui di kampung Wuring. (foto:topan)
Tidak banyak warga kabupaten Sikka yang tahu mengenai penyebaran suku Bajo di kabupaten Sikka. Tim redaksi maumere OnLine pun belum menemukan sumber pustaka yang cukup pasti menyebutkan kapan suku Bajo ini untuk pertama kali mendiami nian Alok. Raja Sikka, Don Thomas (1920-1942) yang memindahkan ibunegeri kerajaan Sikka ke Maumere memberi tempat khusus bagi warga Bugis dan Tionghoa untuk bermukim di pesisir pantai Maumere. Artinya, dua etnis itu sudah bermukim di Maumere sebelum tahun 1900. Mungkin sejak awal abad 18 suku pelaut ini sudah menyinggahi pelabuhan Alok. Raja Sikka Don Cosmo Semao da Silva menugaskan Moang Juang Korung da Cunha sebagai penjaga pelabuhan Alok dengan jabatan Syahbandar atau Comandanti (E.P. da Gomez, 2003). Sebagai pelaut ulung, suku Bajo tentu saja melirik setiap pelabuhan yang potensial untuk kepentingan perdagangan; pelabuhan Alok mungkin satu diantara pelabuhan di kawasan timur yang disinggahi suku Bajo.
Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis – Sulawesi Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan permukiman dia atas air laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo.
anak-anak suku bajo di kampung Wuring.(foto:topan)
Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh warga Bajo. Bukan suku Bajo kalau tidak beragama Islam dan telah diwariskan turun-temurun. Meski ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara penduduk Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang taat sholat lima waktu dan berpegang tegung pada keyakinan yang diwariskan kepada mereka sejak nenek-moyangnya.
Suku Bajo juga terkenal sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama.
Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, social dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di natara mereka.
Kerja sama paling nyata diantara warga Bajo terlihat dalam hal mata pencaharian. Misalnya, bila satu keluarga belum mendapatkan perahu untuk menangkap ikan, yang lain pasti akan menyumbangkan perahu Cuma-Cuma. Sikap seperti inipun lahir secara spontanitas dan diwariskan turun-temurun.
Di Pulau Flores, suku ini terpusat di pulau Babi. Selain itu di pulau Pemana, Parumaan, Sukun dan bisa dijumpai hampir di setiap pesisir pantai utara hingga Labuan Bajo – kabupaten Manggarai Barat.
Nyaris tak ada suku Bajo yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat perguruan tinggi.
Kebanyak orang tua suku Bajo berpikir, sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di pemerintahan karena mereka berada di daerah yang dianggap sebagai warga pendatang. Kembali ke kampung asal Sulawesi pun dianggap pendatang karena tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat. Suku Bajo diidetifikasi dari bahasa yang digunakan. Di daerah lain mereka tidak menyebut diri suku Bajo, tetapi suku Bugis atau Makassar atau Buton.
Bajo dalam bahasa Lamaholot artinya mendayung perahu. Di beberapa tempat di di Flores Timur, kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan Bajo, yakini mendayung, alat pendayung perahu. Watan artinya pantai, atau keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu, artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan.
Lalu apa kepentingan suku Bajo untuk kabupaten Sikka? Mantan Bupati Sikka (periode 2004-2008) Alex Longginus pada tanggal 17 April 2007 ketika meresmikan gedung kantor kecamatan Magepanda meminta warga kecamatan Magepanda agar tetap membina persatuan dan kesatuan antar warga di kecamatan tersebut tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan karena semua perbedaan tersebut merupakan asset dan potensi untuk membangun masa depan bersama. Alex mengisahkan, benih persaudaraan antar etnis Flores dan suku Bajo di kecamatan itu telah terukir sejak lama dan sangat baik.
Awal kedatangan suku pelaut ini ke Magepanda adalah untuk berdagang. Ketika mulai menetap di Magepanda, mereka juga melirik dunia pertanian karena potensi hamparan Magepanda untuk persawahan cukup bagus. Saat membaur dengan warga tani setempat mereka melatih petani di sana dalam ketrampilan mengolah sawah karena mereka juga memiliki ketrampilan dalam dunia pertanian di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai lumbung beras untuk Indoensia Timur. “Alhasil kedatangan suku Bajo memberikan andil dan dampak yang cukup bagus bagi pengembangan lahan pertanian di Magepanda dan sekitarnya,” kata Longginus saat itu. Bila Magepanda saat ini mejadi salah satu daerah lumbung beras untuk Sikka maka potensi itu tidak terlepas dari sumbangan warga Bajo.
Kebersamaan warga Magepanda tergolong sukses dalam meningkatkan kehidupan ekonomi dan industri rumah tangga; itu pun tidak terlepas dari kehadiran masyarakat Bajo dan jalinan persaudaraan yang telah mengakar di sana. Masyarakat Magepanda semakin kokoh mejalin komunikasi, kerjsama dan membina persaudaraan yang sudah dibangun selama ini.
Pecahnya bangunan persaudaraan pada kotak kecil sebuah wilayah kecamatan bisa terjadi di mana-mana. Tafsiran kita, Magepanda juga menyimpan benih perpecahan dimaksud. Peta sosial ekonomi bisa jadi panah pertama yang akan dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang bukan warga Bajo dan etnis Flores. Reaksi masyarakat etnis Flores terhadap beberapa kasus yang mengakumulasi konflik antar etnis di kabupaten Sikka ternyata tidak mengganggu kehidupan warga Bajo. Mereka terlindung dan berada dalam kamar tersendiri, aman dari hentakan reaksioner.
Lahan Persawahan di Magepanda.(foto:john oriwis)
Wilayah pesisir kecamatan Magepanda adalah daerah yang potensial di sektor ekonomi, kelautan dan pariwisata serta dunia usaha lainnya. Persoalan kepemilikan lahan adalah satu klep sosial yang harus diamankan selain persoalan lapangan kerja dan kesenjangan ekonomi. Jangan sampai potensi kecamatan Magepanda hanya akan membuat kenyang perut masyarakat luar yang tidak ber-KTP Magepanda. Kaum benalu itu secara perlahan tapi pasti telah mengisap manis madunya Magepanda dan membawanya pergi tanpa peduli pada persoalan sosial dan ekonomi yang akan semakin tajam mengancam kecamatan ini di masa-masa mendatang.
Di luar tafsiran dan bayang-bayang tersebut di atas, pemerintahan mengapresiasikan bahwa kebinekaan dan keanekaragaman masyarakat Magepanda harus menjadi teladan dan contoh untuk masyarakat di daerah lain bahwa perbedaan budaya dan keyakinan bukan merupakan suatu hambatan untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan persaudaraan dalam membangun bersama Magepanda menuju masa depan yang lebih baik.
Sumber:
http://terungkaplagi.blogspot.com/2014/10/asal-usul-suku-bajo-dicari-dengan-tes.html
No comments:
Post a Comment