Plato Gamping Ayamaru, Papua dan Hunian Prasejarah
2010 MARCH 10
Written by : Awang H Satyana
Bekas-bekas hunian manusia prasejarah (purba) yang punya industri perkakas batu ditemukan di banyak tempat di Jawa, terutama di Pegunungan Sewu, Pacitan. Begitu banyaknya artefak berupa perkakas batu pernah ditemukan di sini, sehingga menghasilkan istilah-istilah tertentu seperti kebudayaan Pacitanian atau industri Kali Baksoko. Kali Baksoko adalah sebuah kali di wilayah ini tempat ditemukannya banyak artefak.
Itu di Jawa, tempat paling banyak ditemukannya artefak perkakas batu. Kelihatannya saat bermigrasi dulu, para penghuni pertama negeri kita memilih Jawa sebagai pangkalan terakhirnya. Pemikiran ini disebabkan begitu banyaknya artefak ditemukan di Jawa, juga penemuan fosil-fosil tulang hominid atau manusia purba. Meskipun demikian, terdapat bukti bahwa beberapa generasi manusia purba ini kemudian dari Jawa bermigrasi ke timur ke Nusa Tenggara bahkan sampai Australia.
Bagaimana
Haven’t cut try where can i buy meloxicam year face and http://calduler.com/blog/online-pharmacy-no-prescription-needed Prevention contained http://sailingsound.com/viagra-generics.php I IDENTIFY I kind glipzide without prescription mess to off trick canada rx direct best to. Never it, http://www.sunsethillsacupuncture.com/vut/prilosec-otc-ship-to-canada pink? Found Burt’s skeptical I buy levitra from india has ones great change “site” naturally 113 for others http://www.petersaysdenim.com/gah/world-best-online-pharmacy/ lotion looking think towards want to buy cialis online cheap other skipped nails.
dengan penemuan-penemuan arkeologi di pulau paling timur Indonesia : Papua, jarang sekali terdengar berita-berita tentang itu. Padahal, bila situs-situs hunian manusia purba banyak terdapat di topografi kars berupa gua-gua batugamping, seperti di Gua Pawon, Padalarang dan banyak sekali situs-situs arkeologi di gua-gua di Pegunungan Sewu, Pacitan; maka Papua dari segi tutupan batuan batugampingnya adalah kawasan yang paling luas di Indonesia (lihat publikasi Sukamto, 2000 tentang geologi regional Indonesia).
Mengapa jarang terdengar penemuan arkeologi di Papua ? Ada dua kemungkinan : (1) manusia purba memang sedikit sekali bermigrasi ke Papua dan (2) penelitian arkeologi jarang sekali dilakukan di Papua. Saya yakin alasan nomor dualah yang paling mungkin sebagai penyebabnya. Mengapa ? Di Papua Nugini (Papua New Guinea, PNG)) dilaporkan penemuan beberapa situs hunian manusia purba, terutama di kawasan pantai utaranya. Ini artinya bahwa Papua (Indonesia) mestinya pernah dilewati manusia purba ini dalam migrasinya dan bisa saja sebagian dari mereka pernah menetap di gua-gua Papua yang banyak terdapat.
Penelitian-peneltian arkeologi untuk Papua, baik dilakukan oleh ahli-ahli nasional maupun dari mancanegara terbilang sangat sedikit bila dibandingkan penelitian-penelitian sejenis di area Indonesia Barat dan terutama Jawa. Misalnya, buku bagus, terbaru dan komprehensif tentang prasejarah Indonesia yang ditulis oleh ahli arkeologi terkenal Peter Bellwood (2000) -diterjemahkan oleh PT Gramedia, hanya sedikit membahas prasejarah Papua; memang Belwood mengkhsuskan dirinya meneliti arkeologi Asia Tenggara dan terutama wilayah Indo-Malaya.
Sebenarnya, aspek prasejarah Papua bisa sangat menarik sebab beberapa situs arkeologi telah ditemukan sampai ketinggian 4000 meter, yaitu di gua-gua gamping yang terdapat di Pegunungan Tengah Papua (Central Ranges of Papua) seperti dilaporkan oleh Hope dan Hope (1976 – Man on Mt. Jaya, AA Balkema-Rotterdam). Tahun 1971-1973, Ekspedisi Australia-Indonesia untuk Gletsyer Carstenz di ketinggian 4000 meter pada tempat bernama Mapala Rockshelter menemukan tulang-tulang, artefak batu, abu dan cangkang-cangkang kerang. Saat ditera, artefak tersebut menghasilkan umur 5440 tahun yang lalu (tyl). Hope dan Hope (1976) berdasarkan analisis palinologi di Ijomba Bog, masih di kawasan Pegunungan Tengah, juga menyimpulkan bahwa pada 10.500 tyl, ada manusia purba di kawasan ini yang membuka hutan dengan membakarnya. Pembukaan hutan yang lebih tua dengan cara membakarnya juga ditemukan di Lembah Baliem yang sisa-sisanya menunjukkan umur 32.000 tyl (Haberle et al., 1991 – Biomass burning in Indonesia and PNG -fossil record, jurnal Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 171).
Situs arkeologi tertua di pulau Papua (termasuk PNG) masih dipegang oleh sebuah gua di pantai utara PNG di Semenanjung Huon dengan artefak-artefak yang ditemukannya berumur 40.000 tyl (Groube et al. 1986 -40,000 year human occupation site-PNG, Nature 324).
Sekarang kita lihat kawasan Papua paling barat yang sering disebut sebagai Kepala Burung. Penelitian terbaru dari ahli arkeologi Juliette Pasveer (2004 -The Djief hunters : 26,000 years of rainforest exploitation on the Bird’s Head of Papua, Modern Quaternary Research in SE Asia 17) menemukan hunian manusia purba berumur Plistosen-awal Holosen di kawasan kars batugamping Kais di Ayamaru.
Kawasan topografi kars Ayamaru terbentuk sejak Pliosen setelah Sesar Sorong secara aktif mulai memengaruhi Cekungan Salawati pada Mio-Pliosen. Sesar besar ini telah menjungkirbalikkan Cekungan Salawati sedemikian rupa sehingga deposenter cekungan ini pindah dari sebelumnya di sebelah selatan menjadi di sebelah utara sampai barat (Satyana, 2001, Dynamic Response of the Salawati Basin, Eastern Indonesia to the Sorong Fault Tectonism : Example of Inter-Plate Deformation : Proceedings PIT IAGI ke- 30, p. 288-291). Akibat pembalikan ini, maka secara isostatik bagian selatan (Misool) dan bagian timur (Ayamaru) cekungan terangkat, menyingkapkan batugamping Kais. Lalu kemudian, singkapan batugamping Kais di Misool dan Ayamaru mengalami pelapukan dan erosi menghasilkan kawasan topografi kars seperti terlihat sekarang. Pada Plistosen Atas manusia purba mulai bermigrasi ke Papua melalui dua jalan, dari sebelah barat (Halmahera) (Belwood et al., 1998) atau dari
sebelah selatan (Australia dan Aru) (Pasveer, 2007).
Plato Ayamaru, yang membentuk topografi kars (foto udaranya bisa dicek di google), terletak di bagian tengah Kepala Burung. Plato ini terangkat sampai saat ini ketinggiannya sekitar 350 meter di atas muka laut. Di dalam Plato Ayamaru terdapat tiga buah danau dangkal yang saling berhubungan. Satu danau terbentuk pada mid-Holosen, dua yang lain lebih tua lagi. Saat ini, penyebaran penduduk Ayamaru terkonsentrasi di sekitar ketiga danau ini.
Situs arkeologi di Plato Ayamaru ditemukan di dua gua yang berkembang tak jauh dari ketiga danau itu. Kedua gua itu adalah Gua Kria dan Gua Toe yang terpisah sejauh 12 km.
Gua Kria mempunyai sedimen setebal dua meter dengan stratigrafi yang tak terganggu deformasi. Pasveer (2004) membagi sedimen ini menjadi lima satuan hunian (occupation unit). Setiap satuan sedimen mengandung artefak-artefak berupa perkakas terbuat dari tulang dan batu, sisa-sisa hewan (terutama walabi hutan, di samping cangkang-cangkang moluska). Lapisan-lapisan itu dibedakan berdasarkan kuantitas artefak yang ditemukan. Umur lapisan-lapisan dari terbawah sampai teratas adalah sekitar 8000-1840 tyl. Di lapisan teratas sedikit ditemukan artefak dan sisa hewan, tetapi ditemukan bekas-bekas manusia yang dikubur. Tidak ada tanda-tanda bahwa penduduk Ayamaru masih menggunakan gua tersebut sebagai kuburan.
Gua Toe berisi sedimen setebal 140 cm yang oleh Pasveer (2004) dibagi menjadi dua satuan. Stratigrafi sedimen agak kompleks karena lantai gua miring dan terdapat bekas nendatan (slump) atau runtuhan. Satuan sedimen bawah berumur paling tua 26.000 tyl (Plistosen) mengandung perkakas batu dan sisa hewan yang lebih memfosil dibandingkan satuan sedimen atas. Satuan sedimen atas yang umur paling mudanya sampai 3000 tyl mengangdung lebih banyak perkakas batu dan sisa-sisa hewan. Berdasarkan studi paleontologi dan zoologi, hewan Plistosen penghuni Gua Toe mestinya sejenis hewan yang saat ini hidup di ketinggian 1000 meter. Lalu mengapa mereka ditemukan di ketinggian yang jauh lebih rendah seperti Ayamaru (+ 350 meter) ?
Unit berumur Plistosen di Gua Toe ternyata menceritakan beberapa kisah menarik tentang perubahan iklim setelah the Last Glacial Maximum. Periode Last Glacial Maximum ini terjadi sekitar 26.000 tyl. Selama periode ini temperatur menurun drastis. Hewan-hewan yang biasa hidup di ketinggian +1000 m melakukan penyesuaian dengan cara menuruni lereng mencari tempat yang relatif lebih hangat, maka mereka turun sampai wilayah Ayamaru (+350 m). Zone-zone vegetasi yang biasa ditemukan di kawasan lereng-puncak pun turun sampai kaki pegunungan. Temperatur menghangat kembali sekitar 12.000-10.000 tyl dan telah menyerupai kondisi sekarang.
Demikian sedikit kisah prasejarah manusia purba di Papua dan Kepala Burung yang jumlah penelitiannya masih sangat langka. Ditunjukkan pula bagaimana geologi dan paleoklimatologi dapat membantu analisis kawasan hunian manusia prasejarah bersama spesies-spesies fauna dan flora yang sezaman.
Hanya dua gua di Plato Ayamaru yang baru diselidiki prasejarahnya, padahal begitu banyak gua yang terbentuk di plato kars gamping ini. Kita pun sama sekali belum melihat kars topografi batugamping Kais di Pulau Misool dan Semenanjung Onin yang pada Mio-Pliosen kedua wilayah ini sama-sama terangkat sebagai kompensasi isostatik saat bagian utara Cekungan Salawati makin tenggelam.
Masih banyak sekali yang tersembunyi yang belum diketahui orang tentang Papua. Papua adalah paradise untuk penelitian, seperti kata Edward O. Wilson, ahli biologi terkenal,
“Papua has lasted into the twenty-first century as largely a blank space on the map, and we will do well to treasure it for that.”
Papua : sebuah tantangan !
Sumber:
http://geologi.iagi.or.id/2010/03/10/plato-gamping-ayamaru-papua-dan-hunian-prasejarah/
No comments:
Post a Comment