Gunung Dempo Kiblat Arca-arca Megalitik
Sumbangan tulisan saya di buku Ekspedisi Bukit Barisan 2011. Sayangnya di buku itu tidak dicantumkan masing-masing penyumbang tulisan. Ini adalah versi asli tanpa penyuntingan untuk buku tersebut.
Sehari memang tidak cukup untuk menjelajah Lahat yang kaya dengan sebaran arca-arca raksasa tinggalan budaya megalitik. Tapi apa mau dikata, hanya satu hari itulah waktu yang tersedia, terutama bagi sahabat saya asli Lahat, Mario. Iapun berkorban minta izin dari tempat bekerjanya di Bengkulu hanya untuk mengantar saya berkeliling ke tempat-tempat situs megalitik di Kabupaten Lahat yang sangat luas. Maka petualangan sehari pun dimulai dari kota Lahat untuk kemudian bergerak ke arah barat menuju Pagaralam dan Gunung Dempo.
Untuk Ekspedisi Bukit Barisan 2011 Kopassus ini, sebenarnya tugas utama saya adalah mendeteksi gejala-gejala bencana alam bersumber dari fenomena geologis. Namun kesempatan untuk mempelajari arca-arca tinggal budaya megalitik dari sisi Geologi, baik juga sebagai sumbangan bagi tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 yang memang khusus mendekatinya dari sisi sosial-budaya atau antropologis. Dan ternyata, pengamatan secara rekonaisans atau survei tinjau sedikitnya membawa suatu wawasan baru tentang keberadaan arca-arca batu dan kubur-kubur batu, serta posisinya dalam konteks bentang alam Lahat dan G. Dempo. Ada dugaan Gunung Dempo menjadi kiblat masyrakat megalitik yang pernah berjaya di Lahat dan Dataran Tinggi Besemah ini.
Petualangan sehari dimulai di Lahat, sejauh kira-kira 200 km ke arah barat dari Palembang, Gunung Jempol akan segera kita lihat saat memasuki batas Kabupaten Lahat dari Kabupaten Muaraenim. Siapapun pasti akan tertawan matanya saat menjumpai suatu gunung yang bentuknya seperti genggaman tangan yang mengacungkan jempol. Memang, masyarakat Lahat lebih banyak menyebutnya sebagai Gunung Jempol, alih-alih nama aslinya Bukit Serelo. Bentuk morfologinya yang unik menjadikan Bukit Serelo terpilih sebagai ikon Kabupaten Lahat dan menjadi lambang kabupaten.
Arca-arca Batu Megalitik
Tidak seberapa jauh dari batas kabupaten, memasuki kota Lahat, di Kecamatan Merapi Barat, terdapat suatu arca peninggalan megalitik, beserta dolmen dan menhir. Tinggalan megalitik ini berada di pelataran SMPN 2 Merapi Barat. Arca tersebut dikenal sebagai Batu Putri atau secara resmi seperti tertulis di plank: Arca Manusia Tanjungtelang. Arah hadap arca yang berbahan batupasir volkanik ini berada dalam satu garis lurus dengan diagonal dolmen dalam arah barat daya, atau selatan-74o- barat (S74oB). Dolmen yang juga terbuat dari lapisan batupasir berwarna kuning keputih-putihan, berbentuk seperti meja berukuran 1,5 x 1,5 m. Dolmen ini tergeletak berjarak 20 m dari tempat arca berdiri. Agak terpisah jauh, sebuah menhir dari batu andesit dengan tinggi 80 cm berdiri tegak di halaman depan SMP itu.
Kompleks tinggalan megalitik ini berada di sebelah utara dari sebuah sungai yang menjadi sungai utama di Lahat, yaitu Aek Lematang. Sungai ini di dataran Lahat mulai menunjukkan pola aliran berkelok-kelok atau bermeander, dengan teras-teras sungai di bantaran kanan dan kirinya. Ada dugaan, teras sungai ini – sebagaimana teras-teras sungai besar di peradaban-peradaban kuno – merupakan tempat yang paling layak menjadi lantai kehidupan masyarakat purbakala. Di Kabupaten Lahat, tinggalan arca megalitik yang tersebar sangat luas, cenderungan berada di sekitar Aek Lematang, walapun beberapa di antaranya terpisah sangat jauh di perbukitan yang mungkin mempunyai makna lain tersendiri.
Arca-arca megalitik ini umumnya menggambarkan raksasa bersama hewan-hewan seperti gajah, harimau, atau ular. Arca Batu Putri atau Manusia Tanjungtelang misalnya menggambarkan seorang raksasa dengan kepala yang tidak jelas, bahkan hampir seperti menggunakan helmet. Posisi kepalanya lurus, dengan tangan sedang memangku seekor gajah. Kesan masyarakat awam akan melihat seolah-olah arca ini belum selesai dipahat dan ditinggalkan begitu saja sebelum detailnya selesai. Ada kesan kemesraan yang tertangkap antara raksasa dan gajak di pangkuannya. Seolah-olah gajah itu adalah anak yang diasuhnya.
Arca yang lain di antaranya apa yang disebut sebagai Batu Macan di Desa Pagaralam, Pagergunung. Arca ini menunjukkan seekor macan yang memeluk mesra dari belakang suatu figur yang kurang begitu jelas, apakah seekor macan yang lain, seekor kera besar, atau seorang raksasa. Adapun di Desa Muaradanau, di antara perkebunan karet, dijumpai arca batu seerang raksasa yang sedang duduk bersila dengan satu kaki tertekuk dipeluk lengannya yang memegang sesuatu yang mirip pisang. Raksasa ini menindih mahluk mirip manusia yang lebih kecil yang seperti ditikam di punggung dengan pisau yang dipegang tangan kirinya. Arca ini disebut sebagai Batu Buto.
Di Desa Gunungmegang, Kecamatan Jarai, masih di Kabupaten Lahat, berbatasan dengan Kota Pagaralam, beberapa tinggalan magalitiknya lebih bervariasi. Selain arca, dijumpai juga ruang-ruangan yang dindingnya tersusun dari batu, sehingga dikenal sebagai kubur batu atau bilik batu. Ahmad Rivai, warga Desa
Gunungmegang yang diangkat sebagai juru pelihara oleh Balai Pelestarian Peninggalan Prasejarah (BP3) Jambi mengatakan bahwa kubur-kubur batu dan arca-arca tersebar luas dan sangat banyak di kaki Gunung Dempo. Di Gunung Megang saja sedikitnya terdapat tiga situs yang menjadi tanggunungjawabnya, yaitu Kubur Batu Gunungmegang, Batu Putri, dan Batu Orang.
Semua arca umumnya dipahat pada batupasir atau breksi volkanik, yaitu batu yang terbentuk secara sedimentasi dari hasil letusan gunung api. Batunya memang keras dan kompak. Tetapi dengan peralatan logam, bahkan batu lain yang dipipihkan atau dibuat runcing, jenis batu arca dapat mudah dikerjakan. Begitulah mengapa arca-arca ini dipilih dari bahan batu itu karena kemudahannya untuk dipahat dan diukir. Adapun kubur dan bilik batu, umumnya menggunakan batu-batu yang lebih keras seperti andesit. Pada umumnya, batu-batu untuk bangunan ini sedikit sekali mengalami rekayasa, keculai lubang kecil atau goresan-goresan dangkal.
Dempo sebagai kiblat
Menariknya, arah kubur batu dengan sangat tepat mengarah ke puncak Gunung Dempo. Hal yang sama terukur dari wajah Batu Orang yang seolah-olah tengadah mengamati puncak Gunung Dempo, sementara ia menindih seekor gajah yang belalainya ia cengkeram dengan kuat. Keganjilan ada di arca Batu Putri yang posisi kepalanya berada pada permukaan tanah, sehingga hampir seluruh badannya berada di bawah tanah. Arca Batu Putri seperti dalam posisi meringkuk dengan badan tertekuk membelakangi Gunung Dempo di arah barat daya, dan kepalanya berpaling ke arah utara.
Arca lain di kaki Gunung Dempo disebut sebagai Batu Manusia Dililit Ular. Arca ini berada di tengah-tengah tegalan dan sawah yang sangat datar di Desa Tanjungaro, Pagaralam. Arca ini setinggi 1,5 m dengan diameter kira-kira 1 m, menggambarkan dua orang manusia yang sedang bergelut dan dililit ular. Anehnya ular-ular yang melilit mereka adalah kepanjangan lengan-lengan mereka sendiri. Di sini, arca ini tidak memiliki orientasi tertentu. Tetapi bersama-sama dengan batu besar lainnya, seluruhnya berjajar dalam satu orientasi yang lurus tepat ke puncak Gunung Dempo.
Sekali pada beberapa arca arah hadapnya berbeda, tetapi secara umum posisi hadap arca-arca ini hampir seluruhnya ke arah barat, atau lebih tepatnya lagi arah barat daya (selatan-barat). Sehingga mungkin kita dapat bertanya: mengapa arah barat daya? Wajah arca Manusia Tanjungtelang di Merapi Barat misalnya mengapa tidak dihadapkan ke timur arah Bukit Serelo yang berbentuk jempol yang bermorfologi cukup menonjol dan menarik perhatian, serta sangat dekat dan jelas terlihat dari tempat arca ini berada? Jika kita mengukur orientasi arca-arca ini dengan teliti, ada perkiraan bahwa semua arca megalitik tersebut dihadapkan ke barat daya karena mengarah ke Gunung Dempo (+ 3159 m). Gunung Dempo adalah satu-satunya gunung api aktif di Sumatera Selatan pada Pegunungan Bukit Barisan.
Seperti telah disebut di atas, hal tersebut semakin pasti ketika kita mengamati arac-arca yang berada pada kaki dan lereng Gunung Dempo. Di sekitar Kota Pagaralam yang udaranya sesejuk Kota Bandung waktu dulu, arca-arca tersebar di Kecamatan Pajarbulan dan Jarai, juga bilik atau kubur batu, dengan pasti terukur melalui kompas, teroreintasi ke Gunung Dempo. Menarik sekali ketika arah poros bilik batu, selain juga arah wajah arca-arca berbentuk raksasa, dengan tepat menghadap ke arah kerucut G. Dempo yang tampak megah menjulang di dataran tinggi di mana Pagaralam berada, atau yang lebih dikenal sebagai dataran tinggi Pasemah (sekarang disebut juga Besemah). Selain itu, suatu kumpulan menhir (batu tegak) sebanyak enam buah di Kecamatan Tanjungsakti yang berada di sisi barat daya Gunung Dempo, porosnya mengarah ke timur laut yang tidak lain adalah puncak Gunung Dempo.
Dengan melihat hasil obsevasi ini, ada dugaan Gunung Dempo dijadikan kiblat bangunan suci masyarakat megalitik Besemah. Gunung, terutama gunung api aktif, di wilayah nusantara umumnya selalu menjadi tempat yang sakral atau disucikan. Gunung api yang berbentuk kerucut yang puncaknya menjulang tinggi menggapai langit, dipercaya sebagai tempat para dewa, atau bahkan perwujudan dari dewa itu sendiri. Sesembahan selalu diberikan pada kawah-kawah gunung api aktif. Misalnya pada masyarakat Hindu Bali. Hingga sekarang, orang-orang bali selalu menempatkan arah pura ke arah gunung besar utama. Misalnya di Pulau bali sendiri ke arah Gunung Agung. Bahkan, orientasi posisi gunung selalu merupakan arah utara (kaja) bagi masyarakat Hindu Bali. Contoh lain, masyarakat Hindu Tengger selalu melemparkan sesajen dan hewan-hewan kurban pada Hari Kesodo ke kawah Gunung Bromo yang bergelok dan selalu berasap. Di Jawa Barat, di kabupaten Cianjur, sebuah bangunan megalitik yang tersusun dari kalom-kolom batu, juga diarahkan ke puncak Gunung Gede, gunung yang memang dianggap sakral bahkan hingga Kerajaan Sunda dan Pajajaran berkuasa di Jawa bagian barat.
Secara geologis, gunung api yang sedang tidak aktif memberi manfaat besar bagi masyarakat yang hidup di kaki-kakinya. Tanahnya umumnya subur karena limpahan dari letusan memberikan unsur-unsur kimia baru yang segar dari perut bumi. Hal ini menjadikan tanah yang terbentuk nantinya kaya akan unsur yang diperlukan bagi pertumbuhan tumbuhan. Selain itu, karena puncaknya yang tinggi, gunung api juga seolah-olah menjadi seperti magnet untuk awan-awan sehingga mendekat dan mencurahkan hujan di atasnya. Akibatnya, sumber daya air melimpah ruah dari badan gunung api. Mata air akan keluar di kaki-kakinya. Sungai-sungai berair bersih mengalir dari lereng-lerengnya. Udara gunung api juga nyaman dan sejuk.
Tetapi ketika aktif, letusannya sangat mengerikan dan mengancam kehidupan. Ledakannya menggelegar luar biasa, menciutkan nyali para penghuni di bawahnya. Magma, berupa cairan batu pijar bersuhu sekitar 1000oC, ketika diletuskan menciptakan suatu fenomena kembang api yang sesungguhnya indah tapi mengerikan. Aliran magma yang kemudian merayapi lembah-lembah ke arah hilir sebagai aliran lava, masih bisa menghanguskan apa yang dilewatinya dengan suhu masih 700oC. Belum lagi aliran sangat cepat awan panas yang menrejang lereng masih bersuhu 500oC. Tidak akan ada yang dapat selamat dari gunung api yang sedang murka ini. Personifikasi sebagai dewa yang di satu waktu begitu pemurah dan di waktu yang lain menunjukkan angkara murkanya, mungkin akhirnya membuat masyarakat megalitik menganggap gunung api sebagai representasi yang maha kuasa, yang selain memberi berkah, juga sekaligus musibah.
Dengan menggunakan analogi seperti itulah, masyarakat megalitik di Nusantara menjadikan gunung api menjadi sesuatu yang patut dihormati. Maka ada dugaan bahwa di Dataran Tinggi Besemah pembangun arca-arca dan bangunan-bangunan megalitik mengarahkannya ke Gunung Dempo, karena gunung api itu hingga sekarang masih aktif. Tanggal 25 September 2006, lima tahun yang lalu, dari kawah aktifnya yang dikenal sebagai Gunung Merapi, Gunung Dempo meletus menghasilkan awan debu setinggi 1 km di atas puncaknya. Di antara ketenangan yang sangat lama, sekali-kali gunung api ini mengingatkan adanya kekuatan alam yang sangat luar biasa dan bisa membinasakan. Berribu-ribu tahun lalu, kondisi itulah yang mungkin dirasakan oleh masyarakat megalitik di sekitar Besemah saat Gunung Dempo kemungkinan lebih aktif daripada kondisi tenang sekarang ini.
Pada saat itulah rasa hormat ditunjukkan dengan pembuatan arca-arca yang wajahnya dihadapkan ke Gunung Dempo. Rasa hormat yang sama ketika masyarakat megalitik Cianjur membangun punden berundak Gunung Padang dengan mengarahkannya ke Gunung Gede. ***
Sumber:
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1436
No comments:
Post a Comment