CATATAN PENYUNTING

Banyak hal-hal di masa lalu yang bersembunyi di daratan Papua. Bukan hanya kisah kehidupan manusia purba, Papua juga menyimpan kisah tentang perubahan iklim; The Last Glacial Maximum
8.6
Di Pulau Jawa banyak terdapat tempat – tempat bekas hunian prasejarah. Hunian tersebut kemudian diidentifikasi pernah menjadi tempat “kebudayaan” pada masa lampau. Istilah-istilah seperti kebudayaan Pacitan, Sangiran, Kali Baksoko dan lain-lain, mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Lantas bagaimana dengan temuan prasejarah di Papua? 
Lokasi-lokasi peninggalan Prasejarah Papua. Angka menunjukkan tahun peninggalan (Pasveer, 2004)
Lokasi-lokasi peninggalan Prasejarah Papua. Angka menunjukkan tahun peninggalan (Pasveer, 2004)
Di Papua belum banyak penemuan-penemuan arkeologi yang ditemukan. Hal tersebut karena tidak banyak penelitian yang dilakukan di Papua. Padahal, pada topografi kars berupa gua-gua batu gamping banyak terdapat situs-situs hunian manusia purba. Misalnya, Gua Pawon, Padalarang, dan Pegunungan Sewu, Pacitan. Maka Papua adalah kawasan yang paling luas di Indonesia dari segi tutupan batuan batu gamping.
Dari aspek penelitian prasejarah, sebenarnya Papua bisa menjadi daerah yang menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, sebab beberapa situs arkeologi telah ditemukan sampai ketinggian 4000 meter, yaitu di gua-gua gamping yang terdapat di Pegunungan Tengah Papua.
Pada tahun 1971-1973 ditemukan tulang-tulang, artefak batu, abu, dan cangkang-cangkang kerang dari Ekspedisi Australia-Indonesia untuk Gletsyer Carstenz pada ketinggian 4000 meter di sebuah tempat bernama Mapala Rockshelter. Saat ditera, artefak tersebut menghasilkan umur 5440 tahun yang lalu. Hope dan Hope (1976) berdasarkan analisis palinologi di Ijomba Bog, masih di kawasan Pegunungan Tengah, juga menyimpulkan bahwa pada 10.500 tyl, ada manusia purba di kawasan ini yang pernah membuka hutan dengan membakarnya. Pembukaan hutan yang lebih tua dengan cara membakarnya juga ditemukan di Lembah Baliem, yang sisa-sisanya menunjukkan umur 32.000 tyl.
Situs arkeologi tertua di pulau Papua (termasuk Papua New Gini) yang berumur 40.000 tahun yang lalu masih dipegang oleh sebuah gua di pantai utara Papua di Semenanjung Huon.
Pada wilayah Papua paling barat yang sering disebut sebagai Kepala Burung, penelitian terbaru Juliette Pasveer menemukan hunian manusia purba berumur Plistosen-awal Holosen pada kawasan kars batu gamping Kais di Ayamaru.
Pliosen; (Geo); adalah zaman dalam sejarah perkembangan kulit bumi, kira-kira 16 juta sampai dengan 4 juta tahun lalu;
Kawasan topografi kars Ayamaru terbentuk sejak Pliosen setelah Sesar Sorong secara aktif mulai memengaruhi Cekungan Salawati pada Mio-Pliosen. Sesar besar ini telah menjungkirbalikkan Cekungan Salawati sedemikian rupa sehingga deposenter cekungan ini pindah dari sebelumnya berada di sebelah selatan bergeser ke sebelah utara sampai barat.

Akibat pembalikan ini, maka secara isostatik bagian selatan (Misool) dan bagian timur (Ayamaru) cekungan terangkat, menyingkapkan batu gamping Kais. Lalu kemudian, singkapan batu gamping Kais di Misool dan Ayamaru mengalami pelapukan dan erosi menghasilkan kawasan topografi kars seperti terlihat sekarang. Pada Plistosen atas manusia purba mulai bermigrasi ke Papua melalui dua jalan, dari sebelah barat (Halmahera) atau dari sebelah selatan.
Dearah Kepala Burung Plateu (Pasveer, 2004)
Dearah Kepala Burung Plateu (Pasveer, 2004)
Terletak di bagian tengah Kepala Burung, Plato Ayamaru membentuk topografi kars. Sampai saat ini ketinggiannya terangkat sekitar 350 meter di atas muka laut. Terdapat tiga buah danau dangkal yang saling berhubungan. Satu danau terbentuk pada mid-Holosen, dua yang lain lebih tua lagi. Saat ini, penyebaran penduduk Ayamaru terkonsentrasi di sekitar ketiga danau ini.
Situs arkeologi di Plato Ayamaru ditemukan di dua gua yang berkembang tak jauh dari ketiga danau itu. Kedua gua itu adalah Gua Kria dan Gua Toe yang terpisah sejauh 12 km.
Gua Kria mempunyai sedimen setebal dua meter dengan stratigrafi yang tak terganggu deformasi. Pasveer (2004) membagi sedimen ini menjadi lima satuan hunian (occupation unit). Setiap satuan sedimen mengandung artefak-artefak berupa perkakas terbuat dari tulang dan batu, sisa-sisa hewan (terutama walabi hutan, di samping cangkang-cangkang moluska). Lapisan-lapisan itu dibedakan berdasarkan kuantitas artefak yang ditemukan.
Moluska: (Zoologi); hewan berbadan lunak, sering bercangkang keras, (ct: siput, bekicot, ikan gurita)
Lapisan-lapisan dari terbawah sampai teratas berumur sekitar 8000-1840 tahun yang lalu. Di lapisan teratas sedikit ditemukan artefak dan sisa hewan, tetapi ditemukan bekas-bekas manusia yang dikubur. Tidak ada tanda-tanda bahwa penduduk Ayamaru masih menggunakan gua tersebut sebagai kuburan.
Gua Toe berisi sedimen setebal 140 cm. Sedimen tersebut berisi dua lapisan. Stratigrafi sedimen agak kompleks karena lantai gua miring dan terdapat bekas nendatan (slump) atau runtuhan. Satuan sedimen bawah berumur paling tua 26.000 tahun yang lalu (Plistosen) mengandung perkakas batu dan sisa hewan yang lebih memfosil dibandingkan satuan sedimen atas. Satuan sedimen atas yang umurnya paling muda sampai 3000 tahun yang lalu, mengandung lebih banyak perkakas batu dan sisa-sisa hewan. Hewan Plistosen penghuni Gua Toe mestinya sejenis hewan yang saat ini hidup di ketinggian 1000 meter.
Pleistosen: adalah suatu kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 1.808.000 hingga 11.500 tahun yang lalu.
Unit berumur Plistosen di Gua Toe ternyata menceritakan beberapa kisah menarik tentang perubahan iklim setelah the Last Glacial Maximum. Periode Last Glacial Maximum ini terjadi sekitar 26.000 tahun yang lalu. Selama periode ini temperatur menurun drastis. Hewan-hewan yang biasa hidup di ketinggian +1000 m melakukan penyesuaian dengan cara menuruni lereng mencari tempat yang relatif lebih hangat. Mereka turun sampai wilayah Ayamaru (+350 m). Zona-zona vegetasi yang biasa ditemukan di kawasan lereng-puncak pun turun sampai kaki pegunungan. Temperatur menghangat kembali sekitar 12.000-10.000 tahun yang lalu dan telah menyerupai kondisi sekarang.

Dari banyak gua yang terbentuk pada plato kars gamping, hingga saat ini hanya dua gua di Plato Ayamaru yang baru diselidiki prasejarahnya. Belum ada penelitian khusus mengenai kars topografi batu gamping Kais di Pulau Misool dan Semenanjung Onin yang pada Mio-Pliosen kedua wilayah ini sama-sama terangkat sebagai kompensasi isostatik saat bagian utara Cekungan Salawati makin tenggelam.
Banyak hal-hal di masa lalu yang bersembunyi di daratan Papua. Namun, sayangnya Penelitan Prasejarah di Papua dan wilayah-wilayah di Indonesia lainnya belum banyak “tersentuh” oleh para peneliti.

*Diolah dari tulisan Satyana, Awang H, “Plato GampingAyamaru, Papua dan HunianPrasejarah”, 10 Maret 2010 [http://geologi.iagi.or.id]

Sumber:\
http://www.wacananusantara.org/hunian-prasejarah-di-papua-plato-gamping-ayamaru/