Friday, May 22, 2015

JEJAK TRADISI MEGALITIK PADA MASYARAKAT DI HULU WAY PENGUBUHAN, LAMPUNG

JEJAK TRADISI MEGALITIK PADA MASYARAKAT DI HULU WAY PENGUBUHAN, LAMPUNG 

Nanang Saptono
e-mail: nangsap@yahoo.co.id


Ekskavasi di Situs Keramat Teluk

PENDAHULUAN


Di bagian hulu Way Pengubuhan terdapat empat situs yang merupakan situs pemukiman. Situs-situs tersebut adalah Keramat Gedong Ratu, Keramat Bandar, Keramat Karang Sio, dan Keramat Teluk. Penelitian Balai Arkeologi Bandung di kawasan ini menunjukkan bahwa situs-situs itu dihuni pada masa protosejarah hingga masuknya pengaruh budaya Islam. Menurut cerita sejarah yang berkembang di masyarakat setempat, pemukiman di Keramat Gedong Ratu berkaitan dengan nenek moyang masyarakat Selagai (Saptono, 2007), Keramat Bandar berhubungan dengan tokoh yang bernama Segayou Ngadikou Guru (Tim Peneliti, 2007), situs Karang Sio tidak diketahui secara pasti siapa tokoh utamanya. Permukiman di Keramat Teluk berhubungan dengan tokoh Tubagus Sayidin Mustofa (Tim Peneliti, 2008). Masyarakat ini merupakan keturunan Datu Di Puncak yang semula bermukim di daerah Sekala Brak yaitu kawasan di antara kaki Bukit Pesagi hingga sekitar Danau Ranau.
Situs-situs arkeologi di kawasan hulu Way Pengubuhan

Sejarah perkembangan kebudayaan yang terjadi di Indonesia pada umumnya bermula dari zaman prasejarah, selanjutnya zaman pengaruh Hindu-Buddha (Klasik), dan kemudian masa pengaruh Islam dan Kolonial. Pada beberapa kelompok masyarakat terkadang tidak berlangsung seperti itu tetapi ada yang mengalami loncatan. Daerah yang tidak mendapat sentuhan pengaruh budaya Hindu-Buddha akan mengalami semacam loncatan dari zaman prasejarah langsung ke masa pengaruh Islam. Sementara itu ada pula daerah yang tidak mendapat pengaruh budaya Islam sehingga lintasan sejarah budaya yang terbentuk hanya masa prasejarah dan klasik. Lampung merupakan daerah yang sedikit mendapat pengaruh budaya Hindu-Buddha sehingga sampai saat ini belum ditemukan pusat peradaban klasik. Beberapa tinggalan prasasti di Lampung yang merupakan tinggalan budaya masa klasik menunjukkan pengaruh kuat Sriwijaya. Pengaruh Sriwijaya ini pun tidak meliputi seluruh wilayah Lampung tetapi hanya di beberapa tempat seperti misalnya di Batu Bedil, Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus; Palas Pasemah, Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan; dan Tanjung Raya, Sukau, Kabupaten Lampung Barat. Beberapa wilayah di bagian tengah Lampung seperti kawasan hulu Way (Sungai) Pengubuhan tampak tidak mendapat pengaruh budaya klasik. 

Olivier Sevin yang mengkaji sejarah kawasan Lampung berdasarkan cerita sejarah, menyimpulkan bahwa di masa lalu terdapat kelompok masyarakat yang melakukan migrasi dari Sekalabrak menuju kawasan hulu Way Pengubuhan. Gelombang migrasi tersebut terjadi karena di kawasan Sekalabrak pada sekitar awal abad ke-14 mengalami tekanan populasi tinggi (Sevin, 1989: 49 – 69). Bukti-bukti arkeologis yang terdapat di kawasan tersebut kebanyakan berupa situs permukiman dengan unsur monumen tradisi megalitik berupa menhir dan dolmen. A.N.J. Th. a. Th. van der Hoop telah mencatat beberapa peninggalan megalitik yang ditemukan di kawasan ini antara lain situs Batoeberak di Pekonbalak, Liwa (Hoop, 1932: 58 – 59). Di daerah Desa Purawiwitan dan Purajaya, Kecamatan Sumberjaya terdapat beberapa komplek megalitik seperti dolmen dan menhir di situs Batu Tameng; dolmen, menhir dan batu berurut di situs Purajaya; menhir di situs Batujagur; dolmen di situs Tlaga Mukmin, dolmen dan menhir di situs Muara Jaya, serta dolmen di situs Cipta Mulya (Sukendar, 1979; Indraningsih, 1985; Saptono, 1994). Selain tinggalan berupa dolmen dan menhir, juga terdapat tinggalan berupa arca megalitik. Arca ini ditemukan di Bukit Pulau Pinang, Kecamatan Liwa (Sukendar, 1976: 11). Diduga tradisi megalitik ini masih berlangsung terus bagi masyarakat di kawasan hulu Way Pengubuhan. 


Sesudah masa prasejarah, di kawasan Lampung sebagian besar langsung mendapat pengaruh budaya Islam yang masuk melalui Kesultanan Banten. Pada masa Banten berada pada masa puncak, yaitu masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552 – 1570) hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqien (1801 – 1802), Lampung berada di bawah kontrol Banten. Sultan Hasanuddin pernah mengadakan perjalanan ke Lampung, Indrapura, dan Solebar (Bengkulu). Hubungan antara Banten dengan Lampung juga diceritakan dalam tradisi orang-orang Abung. Menak Paduka dan Menak Kemala Bumi pernah datang di Banten untuk minta bantuan Sultan Hasanuddin dengan mempersembahkan pengakuan kekuasaan tertinggi Tulangbawang kepada Banten. Pada waktu itu selain Tulangbawang terdapat kerajaan Balau. Pada masa kemudian Balau dapat disatukan dengan Tulangbawang melalui perkawinan antara Menak Kemala Bumi dengan putri Raja Balau. Oleh Sultan Hasanuddin, Menak Paduka diberi gelar Patih Jarumbang dan Menak Kemala Bumi diberi gelar Patih Prajurit. Kedua tokoh ini kemudian masuk Islam dan selanjutnya melaksanakan islamisasi di daerah Lampung (Djajadiningrat, 1983). Kasus melakukan pengakuan kekuasaan tertinggi dalam istilah Lampung disebut siba, yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Tulangbawang saja tetapiMasyarakat Abung juga melakukannya. Pengaruh kuat Banten terhadap Lampung juga menyangkut sistem religi yang sebelumnya berupa tradisi megalitik selanjutnya berganti ke Islam. Namun demikian, tradisi megalitik yang ada pada masyarakat masih mewarnai budaya Islam. Berdasarkan hal itu, penelitian ini akan menggali jejak tradisi megalitik pada masyarakat di kawasan hulu Way Pengubuhan tersebut.

Penelitian ini berusaha untuk mengkaji bentuk budaya tradisi megalitik yang ada pada masyarakat di kawasan hulu Way Pengubuhan. Bentuk budaya yang dimaksudkan meliputi budaya materi, seperti bekas permukiman dan peralatan yang dipergunakan dalam ritual pemujaan kepada arwah nenek moyang serta budaya dalam bentuk perilaku masyarakat, seperti aktivitas dalam ritual pemujaan kepada arwah leluhur yang masih tersisa. Sasaran penelitian dilakukan terhadap situs Keramat Gedong Ratu dan Keramat Teluk. Dua situs ini dinilai masih mengandung tiggalan-tinggalan yang bisa menjawab permasalahan penelitian.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya dengan analisis tematik (Somantri, 2005). Penelitian kualitatif lebih mengutamakanpenggunaan logika induktif di mana kategorisasi dimunculkan daridata-data yang ditemukan. Sehingga penelitian kualitatif bercirikaninformasi yang  berupa ikatan konteks yang akan menggiring padpola-pola atau  teori  yang  akan  menjelaskan fenomena yang ada(Creswell, 1994: 4-7). Dalam metode deskriptif, setelah dilakukan klasifikasi data kemudian dilakukan analisis dengan membandingkan terhadap berbagai fenomena-fenomena tertentu yang sejenis. Data yang dipakai untuk mengkaji permasalahan merupakan hasil penelitian Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2007 dan 2008. Selain itu juga diperkuat dengan data pustaka yang berkaitan dengan kajian di situs tersebut. 

Salah satu unsur kebudayaan adalah sistem religi. Religi dapat dipahami sebagai tindakan yang mengindikasikan kepercayaan dankeinginan untuk menghormati, dan menyenangkan kekuatan ilahi yang berkuasa. Sistem religi memerlukan kerangka kepercayaan yangberhubungan dengan kekuatan gaib atau manusia super. Di dunia lainmakhluk super yang dikonsep oleh manusia memiliki tempat dalampeta dunia kognitif bersama (Renfrew dan Bahn, 1991: 358). Religi dalam unsur budaya mengalami proses perubahan dan perkembangan.

Tradisi megalitik merupakan akar sistem religi yang mulai berkembang pada masyarakat prasejarah khususnya pada masa bercocok tanam. Salah satu aspek yang sangat menonjol pada tradisi megalitik adalah sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Masyarakat pada masa itu percaya bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal, tetapi dianggap mempunyai kehidupan di alamnya tersendiri. Pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka, diselenggarakan upacara yang sangat mencolok. Upacara-upacara akan dilakukan secara berkala dan mencapai puncaknya dengan pendirian bangunan megalitik.

Secara umum, pendirian bangunan megalitik berhubungan erat dengan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dengan yang sudah mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa dari seorang kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan sekaligus sebagai lambang si mati (Soejono, 1990: 205). Bentuk bangunan sebagai lambang leluhur yang telah meninggal misalnya menhir, arca menhir, dan arca-arca sederhana yang biasa disebut dengan istilah arca tipe polinesia atau arca megalitik. Bentuk-bentuk lambang leluhur biasanya ditempatkan pada bangunan berundak atau pada lokasi-lokasi yang dianggap mewakili dunia roh seperti misalnya gunung.Selain gunung, lokasi yang ditinggikan juga biasa dipakai untuk menempatkan megalitik. 

Mengacu pada istilah “megalitik” biasanya dikaitkan dengan batu besar. Namun demikian unsur utama pada tradisi megalitik adalah pemujaan kepada arwah leluhur. F.A Wagner menyatakan bahwa pada masyarakat tertentu objek-objek batu lebih kecil dan bahan lain seperti kayu pun termasuk dalam klasifikasi megalitik bila benda-benda itu jelas dipergunakan untuk tujuan sakral tertentu, yaitu pemujaan kepada arwah leluhur (Soejono, 1990: 207 – 208).


Hasil Dan Pembahasan


Gambaran Umum Kawasan

Way Pengubuhan bermata air di Tangkit Tebak, salah satu puncak di Bukit Barisan. Kawasan hulu Way Pengubuhan berada di sebelah timur Bukit Barisan. Topografi kawasan hulu Way Pengubuhan merupakan pedataran sedikit bergelombang. Ketinggian kawasan ini sekitar 50 m dari permukaan laut. Pada beberapa lokasi dijumpai bukit-bukit kecil dengan ketinggian sekitar 70 m dari permukaan laut.
Peta topografi kawasan hulu Way Pengubuhan


Cerita Sejarah Masyarakat
Situs Gedong Ratu atau juga disebut Talang Keramat, merupakan bekas permukiman masyarakat Selagai. Masyarakat Selagai atau dalam istilah lokal disebut buay Selagai merupakan salah satu anggota klan Abung Siwo Mego yang terdiri dari sembilan marga. Sumber sejarah tentang asal usul Masyarakat Selagai bersumber dari cerita tutur beberapa tokoh masyarakat yang didapatkan dari warisan generasi ke generasi. Selain itu juga dari catatan-catatan yang ditulis oleh beberapa tokoh masyarakat. Sumber data berupa tradisi lisan memang mempunyai kelemahan, karena ingatan turun temurun tidak terlepas dari kemungkinan ditambah, dikurangi, atau direkayasa sesuai dengan imajinasi, kepentingan, dan tujuan penutur. Namun selama sumber sejarah yang lebih valid belum ditemukan, penggunaan tradisi lisan dapat membantu kajian arkeologi dalam memahami kaitan budaya dengan suatu situs (Lubis, 2000: 10; Anyon, 1996).

Tradisi lisan tentang asal usul sejarah Buay Selagai terdapat banyak versi. Meskipun demikian, semuanya bermula pada satu pokok pangkal yaitu Kedatuan Di Puncak. Salah satu versi bersumber dari masyarakat Gedong Ratu (Saptono, 2007). Pada sekitar abad ke-17 keturunan Datu Di Puncak ada yang bermukim di wilayah Gedong Ratu. Keturunan ini pada saat sekarang di antaranya bermukim di tiga kampung yaitu Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Negeri Katon, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah. Tokoh-tokoh yang membuka kampung tersebut adalah Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, Rangga Masang, Minak Makecil, dan Ngediko Datuk.

Pada kurun waktu antara abad ke-16 hingga ke-17, diceritakan bahwa setelah pindah dari Gilas salah satu keturunan Datu Di Puncak yang bernama Minak Rio Lagai pindah ke Gedong Harta. Minak Rio Lagai mempunyai dua istri, yang pertama bernama Putri Ogan berasal dari Sahur Naga, Kampung Semengeh (Ogan). Perkawinannya dengan Putri Ogan, menurunkan dua anak, yaitu Lingga dan Bussuk. Istri kedua Minak Rio Lagai tidak diketahui namanya, menurunkan satu anak bernama Dendeng.

Anak Minak Rio Lagai yang bernama Lingga mempunyai tiga anak. Anak tertua bernama Rio Sidang Mula Jadi, anak kedua bernama Rio Sidang Penatih, dan  anak ketiga bernama Rio Sidang Penatu. Selanjutnya Rio Sidang Mula Jadi mempunyai empat anak yaitu Sutan Jumat Tuha, Makam Jebbi, Rangga Masang, dan Ngediko Datuk. Sekarang ini masyarakat marga Selagai yang bermukim di Kampung Tanjung Ratu dan Negeri Katon merupakan keturunan Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, dan Rangga Masang. Adapun Ngedika Datuk menurunkan sebagian masyarakat Negeri Agung.

Anak Minak Rio Lagai yang kedua, yaitu Rio Sidang Penatih mempunyai satu anak bernama Minak Makecil. Keturunan Minak Makecil merupakan sebagian masyarakat yang bermukim di Negeri Agung. Adapun Rio Sidang Penatu sebagai anak ketiga Minak Rio Lagai diceritakan juga mempunyai menurunkan anak tetapi tidak jelas namanya. Keturunannya yang sekarang merupakan masyarakat yang bermukim di Negeri Katon.

Keturunan para moyang yang sekarang termasuk dalam masyarakat marga Selagai terdiri dari delapan kebuayan. Buay Selagai Lingga merupakan masyarakat yang bermukim di Kampung Negeri Katon, Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Gedong Harta. Buay Selagai Bussuk bermukim di daerah Gedong Raja. Buay Selagai Dendeng bermukim di daerah Pekurun. Buay Selagai Runjung, Buay Selagai Liyah, Buay Selagai Tangguk, Buay Selagai Ghanda, dan Buay Selagai Pepen bermukim di Daerah Gedong Wani, Lampung Timur tepatnya di Kampung Nyampir, Kecamatan Marga Tiga.

Catatan penting yang diceritakan dalam tradisi lisan masyarakat Selagai adalah peristiwa siba ke Banten dan permainan bola. Tentangsiba ke Banten diceritakan dilakukan oleh tiga orang moyang Selagai yaitu Sutan Jumat Tuha, Rangga Masang, dan Makam Jebi. Ketika pulang kembali ke Selagai, Sultan Banten memberi lawang kuri. Sutan Jumat Tuha tidak kembali ke Selagai tetapi menetap di Negeri Katon, Gedong Wani.

Selain peristiwa siba, diceritakan pula mengenai permainan bola besi. Kesultanan Banten mengajak bermain bola besi (bola gassou) melawan Selagai. Tiga orang tokoh dari Selagai yaitu Rangga Masang, Sutan Jumat Tuha, dan Minak Makecil berangkat ke Banten melalui pelabuhan Meringgai. Pertandingan dilangsungkan di Banten. Tendangan bola besi ke atas yang dilakukan oleh Rangga Masang sangat tinggi sehingga ketika bola kembali jatuh masuk ke tanah sangat dalam. Dengan hasil seperti itu, pihak Selagai dinyatakan sebagai pemenang. Mengenai sejarah masyarakat yang tinggal di Keramat Teluk, masyarakat yang sekarang tinggal di kampung dekat situs itu tidak banyak mengetahui. Hal ini terjadi karena mereka merupakan pendatang dari Banten.


Fakta Arkeologis

- Situs Gedong Ratu

Situs Gedong Ratu atau Talang Keramat berada pada posisi 4°58’39,5” LS dan 104°54’27,7” BT. Lokasi ini berada pada kelokan Way Pengubuhan yang mengalir di sebelah barat dan utara situs. Secara administratif situs ini berada di Dusun Talang Keramat, Kampung Sri Mulyo, Kecamatan Anak Ratu Aji, Lampung Tengah. Lokasi ini dahulu merupakan bekas Kampung Gedong Ratu yang merupakan perkampungan masyarakat marga Selagai Lingga. Masyarakat Selagai Lingga menunjuk lokasi Talang Keramat dengan sebutan Keramat Gedong Ratu karena merupakan bekas Kampung Gedong Ratu. Berbeda dengan masyarakat Sri Mulyo lebih mengenal dengan sebutan Talang Keramat karena berada di Dusun Talang Keramat, atau Keramat Tujuh karena di lokasi tersebut terdapat tujuh makam yang dikeramatkan. 
Kompleks makam keramat di situs Gedong Ratu
Jejak-jejak perkampungan sudah sulit dikenali karena pada sekitar tahun 1985 lahan tersebut dijadikan persawahan. Sebelum dijadikan sawah lahan tersebut banyak ditumbuhi bambu. Salah satu fitur yang tersisa adalah kompleks makam yang dikeramatkan. Lahan kompleks makam keramat seluas 900 m2 dibatasi jajaran pohon jati. Kondisi makam berupa tujuh gundukan tanah berdenah bundar tanpa dilengkapi nisan. Tokoh-tokoh yang dimakamkan di Talang Keramat adalah moyang masyarakat Selagai yang terdiri dari Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, Rangga Masang, Minak Merajalela, Ngedika Datuk, dan Minak Mekecil, serta seorang tokoh yang bukan merupakan moyang masyarakat Selagai.

Makam terbesar dan tertinggi berada di bagian tengah lahan merupakan makam Rangga Masang. Makam tersebut berdiameter sekitar 9 m dengan tinggi gundukan sekitar 135 cm. Di sebelah barat daya makam Rangga Masang merupakan makam Sutan Jumat Tuha. Makam ini berdiameter sekitar 8 m dengan tinggi gundukan sekitar 80 cm. Di sebelah tenggara makam Rangga Masang adalah makam Makam Jebi. Makam ini sedikit lebih kecil yaitu berdiameter sekitar 5,5 m dengan tinggi gundukan sekitar 50 cm. Makam keempat adalah makam Minak Makecil. Makam ini berada di sebelah timur laut makam Rangga Masang. Diameter makam sekitar 5,20 m dan ketinggian gundukannya adalah sekitar 40 cm. Selanjutnya di sebelah utara agak ke arah timur dari makam Rangga masang merupakan makam Ngedika Datuk. Makam ini berdiameter sekitar 9 m dengan tinggi gundukan sekitar 90 cm. Di sudut barat laut kompleks makam terdapat makam Minak Merajalela. Makam ini berdiameter sekitar 6 m dengan ketinggian gundukan sekitar 50 cm.

Selain keenam makam tersebut, terdapat satu makam lagi yaitu berada di sebelah timur laut kompleks makam. Makam ini berdiameter sekitar 6 m dengan ketinggian gundukan sekitar 75 cm. Mengenai tokoh yang dimakamkan terdapat keterangan yang berbeda-beda. Menurut penjelasan Bapak Suttan Bandar, tokoh yang dimakamkan adalah Ratu Sandaran Bumi. Berbeda dengan keterangan Bapak Suttan Bandar, menurut Bapak Ali Dinata dan Bapak Sederhana, makam tersebut adalah makam Syekh Nurdin Junjungan Sekalian Alam. Bapak Badrus memberi keterangan yang berbeda lagi. Menurut keterangan beliau, tokoh yang dimakamkan adalah Putri Sinar Ogan.

Selain komplek makam keramat, peninggalan moyang Selagai ada yang berupa benda-benda kuna. Masyarakat Selagai ada yang masih menyimpan benda-benda kuna warisan dari para leluhurnya. Bapak Surya Lingga sebagai keturunan Sutan Jumat Tuha menyimpan beberapa benda kuna di antaranya ada yang merupakan peninggalan Sutan Jumat Tuha. Benda-benda kuna tersebut adalah sebagai berikut.
1.     Patung tokoh yang digambarkan secara statis terbuat dari bahan kayu. Kepala patung diberi kopiah berwarna putih. Bagian muka dilengkapi kumis dan berjanggut. Bibir diberi warna kemerahan dari bahan cat. Bagian badan ditutup kain putih. Kemungkinan dilengkapi tangan dalam posisi berkacak pinggang. Bagian kaki juga tertutup kain putih, kemungkinan tidak dilengkapi kaki. Patung ini merupakan perwujudan dari Sutan Jumat Tuha.
2.     Tombak atau payan terdiri tiga buah.
3.     Tiruan “bola besi” terbungkus kain putih. Menurut keterangan Bapak Surya Lingga bola tersebut terbuat dari karet.
4.     Sepasang simbal (rujih) terbuat dari bahan perunggu. Salah saturujih tersebut sudah pecah pada salah satu bagiannya.
5.     Gong (tala) terbuat dari bahan perunggu
6.     Tongkat kayu (cis)
7.     Bokor dari kayu
8.     Beberapa naskah kuna, mungkin Al Quran
9.     Keropak berhuruf Lampung terdiri 12 bilah.
Patung perwujudan Sutan Jumat Tuha dan beberapa benda kuna yang dipercaya sebagai peninggalan Sutan Jumat Tuha
Benda-benda tersebut dipakai dalam upacara adat (begawi adat). Pada saat pelaksanaan upacara terlebih dahulu melakukan permohonan ijin kepada arwah Sutan Jumat Tuha melalui patung perwujudan. Selanjutnya barang-barang kuna yang ada dikeluarkan untuk mengiringi peralatan yang akan digunakan dalam upacara.


- Situs Keramat Teluk
Situs Keramat Teluk berada di bagian paling utara kawasan Hulu Way Pengubuhan (Tim Peneliti, 2008). Secara geografis berada pada posisi 4°54’10.8” LS dan 104°59’35.5” BT. Way Pengubuhan merupakan anak Way Seputih yang  mengalir di sebelah barat dan selatan situs. Lahan Situs Keramat Teluk luasnya sekitar 3 hektar yang berbatasan dengan rawa di sebelah utara, sebelah timur benteng tanah, sebelah selatan Way Pengubuhan, dan sebelah barat adalah sungai kecil. Sungai ini semula adalah parit yang kemudian dimodifikasi masyarakat dengan cara menggiring kerbau bolak-balik sehingga terbentuk sungai kecil. Di sebelah utara rawa dan timur serta selatan lahan pada seberang Way Pengubuhan merupakan kebun singkong.Tidak demikian halnya di sebelah barat lahan pada seberang sungai kecil selain kebun singkong juga merupakan kebun karet. 

Way Pengubuhan yang mengalir di sebelah selatan situs pada umumnya berlereng terjal. Lereng landai dijumpai di sebelah tenggara situs. Di tengah lahan situs terdapat jalan tanah yang lebarnya sekitar sekitar 3 m, membujur arah barat-timur. Jalan ini merupakan prasarana bagi masyarakat untuk menuju makam keramat dan ke ladang. Pada lahan situs terdapat dua lajur parit kuna yang membagi lahan menjadi tiga halaman.
Peta situasi situs Keramat Teluk
Lahan Timur. Lahan bagian timur pada saat sekarang merupakan lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan dan pertanian. Pada bagian utara jalan tanah untuk perkebunan karet yang diselingi singkong. Di bagian selatan jalan tanah untuk lahan pertanian singkong. Pada saat dilakukan penelitian, lahan tersebut masih dalam tahap dibajak untuk segera ditanami. Pada sisi timur bagian selatan terdapat fitur benteng tanah dengan orientasi utara – selatan. Lebar benteng sekitar 4 m dengan ketinggian antara 1 – 1,5 m. Di lahan bagian utara, fitur benteng tidak ditemukan. Fitur benteng baruditemukan lagi pada ujung utara.

Pada sisi barat lahan timur terdapat parit yang menghubungkan rawa dengan Way Pengubuhan. Di bagian selatan, orientasi parit lurus utara – selatan, sedangkan pada bagian utara mengalami pembelokan ke arah barat laut. Lebar parit berkisar antara 7 – 8 m dengan kedalaman sekitar 3 m. Parit ini merupakan batas antara lahan timur dan lahan tengah.

Di tepi sebelah timur bagian utara parit terdapat batu berdiri dari jenis batuan andesit. Bentuk batu tidak beraturan mendekati bentuk heksagonal. Batu berbentuk demikian ini merupakan hasil proses alami kekar tiang (columnar joint). Tinggi batu 55 cm dengan bagian sisi paling lebar 65 cm. Batu berdiri ini kemungkinan sebagai menhir.
Batu berdiri di tepi parit lahan timur bagian utara
Lahan Tengah. Lahan bagian tengah dibatasi dua parit yaitu parit sisi timur dan sisi selatan. Parit sisi timur memisahkan lahan timur dengan lahan tengah, sedangkan parit sisi barat merupakan pemisah antara lahan tengah dan lahan barat. Memasuki bagian halaman ini, jalan tanah yang berada di tengah lahan sejak dari parit sisi timur mengalami sedikit pembelokan ke arah barat laut. Kondisi lahan pada saat sekarang terbagi dua bagian. Bagian timur merupakan kebun singkong yang digarap oleh Bapak Safrudin dan bagian barat merupakan komplek makam umum yang di dalamnya terdapat makam yang dikeramatkan.

Pada bagian timur, yaitu di tepi jalan sisi timur, terdapat batu panjang (batu 2) dari bahan andesit dalam posisi rebah sejajar dengan jalan tanah. Masyarakat setempat menamakan batu tersebut “batu lesung”. Batu tersebut juga merupakan kekar tiang alami berbentuk heksagonal dengan ukuran 105 cm, lebar 60 cm, dan tebal 50 cm. Masyarakat mengkeramatkan batu ini karena menurut cerita, dahulu pada malam-malam tertentu sering terdengar suara musik tradisional (gamelan) yang bersumber dari batu ini.
“Batu Lesung” yang terdapat di tepi jalan sisi timur lahan tengah
Pada komplek makam umum di lahan tengah bagian barat banyak ditumbuhi pohon bambu. Setelah memasuki bagian halaman ini berjarak sekitar 10 m, jalan tanah bercabang ke arah baratdaya dan barat laut. Jalan tanah yang ke arah baratdaya menuju ke halaman makam keramat, sedangkan yang ke arah baratlaut menuju ke bagian halaman barat. Di dekat persimpangan jalan tersebut, yaitu pada sisi utara jalan yang menuju ke halaman makam keramat terdapat batu (batu 3) alam yang tidak dibentuk tetapi terbentuk secara alami merupakan hasil proses intrusi. Batu tersebut juga berbahan andesitberukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm, dan tebal 38 cm.

Pada bagian selatan lahan ini terdapat komplek makam kuna yang dikeramatkan. Komplek makam dikelilingi pagar tembok dengan bagian selatan terdapat bangunan semacam rumah kecil untuk para peziarah. Pintu masuk ke berada di sisi timur dan barat juga terdapat pintu. Bagian utara terbuka tanpa dinding, langsung menghubungkan dengan halaman yang di dalamnya terdapat dua makam keramat.

Tokoh yang dimakamkan adalah Tubagus Sayidin Mustofa dan Siti Badariah. Makam Tubagus Sayidin Mustofa berada di bagian selatan halaman. Bagian halaman ini berlantai plester semen. Kondisi makam tidak dilengkapi jirat, tetapi tanahnya agak meninggi. Nisan makam hanya satu, dibungkus beberapa lembar kain putih sehingga tidak kelihatan bentuk aslinya. Menurut keterangan Bapak Kamidin, juru kunci, nisan merupakan batu berukir berbentuk bulat panjang.

Makam Siti Badariah berada di halaman bagian utara. Bagian halaman ini tidak berplester semen. Menurut keterangan Bapak Kamidin, Siti Badariah adalah anak Sultan Hasanuddin dari Banten. Siti Badariah kemungkinan adalah isteri Tubagus Sayidin Mustofa. Kondisi makam juga tidak dilengkapi jirat. Pada makam ini tanahnya rata. Nisan terdiri dua buah yang keduanya dibungkus kain putih. Di sebelah barat makam terdapat beberapa makam juru kunci.

Masyarakat setempat tidak mengetahui sejarah Tubagus Sayidin Mustofa. Menurut informasi Nawawi (70 th), Tubagus Sayidin Mustofa adalah tokoh yang membuka kampung di Teluk Betung. Setelah kampung Teluk Betung jadi, dia pindah dan membuka perkampungan di Keramat Teluk. Cerita lain menyebutkan bahwa yang membuka kampung di Teluk Betung adalah adik Tubagus Sayidin Mustofa. Apa peranan Tubagus Sayidin Mustofa di Keramat Teluk juga tidak terceritakan. Sedangkan cerita mengenai peranan Siti Badariah, menurut keterangan Kamidin (65 th), juru kunci makam, beliau ditugaskan Sultan Hasanuddin untuk menyebarkan Islam di kampung tersebut.

Lahan Barat. Antara lahan bagian tengah dan lahan bagian barat terdapat parit. Parit ini menghubungkan antara Way Pengubuhan dan rawa. Panjang parit secara keseluruhan sekitar 180 m. Orientasi parit dari tepian Way Pengubuhan ke arah utara agak ke timur. Tepat pada jalan tanah mengalami pembelokan sedikit ke arah timur. Lebar parit berkisar 4 – 6 m dengan kedalaman bervariasi antara 1,5 m hingga 4 m. Batas sisi barat berupa sungai kecil yang menghubungkan rawa dengan Way Pengubuhan. Sungai kecil ini merupakan sungai buatan. Menurut keterangan, penggalian sungai kecil ini diprakarsai oleh Abah Adung dalam rangka pencetakan lahan sawah yang berada di sebelah timur laut situs, dekat dengan perkampungan.

Kondisi lahan bagian barat pada saat penelitian dilakukan merupakan kebun karet yang diselingi dengan singkong dan jagung. Lahan ini merupakan milik Ibu Mas’ah. Kondisi kebun relatif rata. Bagian selatan lebih tinggi dari pada bagian utara. Sisi selatan merupakan tebing Way Pengubuhan dan sisi barat merupakan tebing sungai kecil dengankondisi sangat curam. Adapun sisi utara melandai hingga ke tepian rawa.

Di luar lahan situs sebelah timur, pada sisi sebelah utara jalan tanah menuju komplek situs terdapat patahan batu alam berjenis andesitberbentuk heksagonal (batu 4) sebagaimana menhir, batu lesung, dan batu kodok. Batu ini berada di bawah pohon rambutan. Ukuran batu ini adalah panjang 40 cm, lebar 36 cm, dan tebal 28 cm.
Potongan batu heksagonal yang terdapat di lahan sebelah timur situs

Jejak Tradisi Megalitik
Tradisi megalitik pada dasarnya adalah pemujaan kepada arwah nenek moyang. Wujud budaya ini bisa berupa tingkah laku dan juga benda hasil karya manusia. Hal yang terjadi pada masyarakat Selagai, pengagungan dan pemujaan kepada arwah nenek moyang, dalam hal ini Sutan Jumat Tuha, diekspresikan dengan patung kayu. Bentuk pengagungan dilakukan pada setiap pelaksanaan begawi adat. Meskipun dalam pelaksanaan upacara bernuansa islami, namun bila diperhatikan masih terdapat unsur pemujaan kepada arwah nenek moyang (Sutan Jumat Tuha). Bagaimana unsur bentuk tradisi megalitik tersebut dapat dijelaskan melalui perbandingan dengan tradisi megalitik pada beberapa kelompok masyarakat.

Di TanaToraja terdapat tradisi yang mirip dengan ekspresi religi masyarakat Selagai. Harun Kadir mencatat bahwa pada masyarakat Tana Toraja terdapat tradisi pengagungan kepada  tokoh leluhur, dengan pembuatan patung kayu yang disebut dengan istilah tau-tau. Pada saat tertentu tau-tau diberi pakaian lengkap dengan sesaji. Tau-tau di Tana Toraja ditemukan di banyak lokasi misalnya Kete, Lemo, Loko, Mata, Londa, Suaya (Sangalla), dan Mengkepe (Yondri, 1996: 16). Masyarakat Dayak di Kalimantan dalam berhubungan dengan arwah nenek moyang juga melalui upacara yang menggunakan perlengkapan berupa patung terbuat dari kayu. Patung-patung tersebut lazim disebut dengan istilah pantak, hampatung, belontang,tempatung, parekan, atau pontok (Yondri, 1999: 22). Patung-patung tersebut ada yang ditempatkan di ujung desa, di depan rumah, dan ada juga yang ditempatkan di kompleks kuburan.

Pada masyarakat Selagai, patung kayu perwujudan Sutan Jumat Tuha tidak ditempatkan pada lokasi khusus tetapi tersimpan pada salah satu keluarga (Bapak Surya Lingga), mungkin merupakan salah satupenyimbang adat. Patung kayu akan dibawa ke tempat pelaksanaanbegawi adat untuk permohonan ijin dan berkah. Unsur permohonan berkah tidak hanya dipusatkan pada patung perwujudan Sutan Jumat Tuha tetapi juga kepada peralatan yang dipercaya sebagai peninggalan Sutan Jumat Tuha. Benda-benda seperti tombak, cis, rujih, gong, bokor, naskah kuna, dan keropak disertakan dalam upacara dan disatukan dengan peralatan yang akan dipergunakan. Penyertaan ini dimaksudkan agar peralatan upacara yang akan dipakai terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada pelaksanaan upacara penghormatan kepada arwah Sutan Jumat Tuha juga dilakukan permainan bola gassou. Permainan ini mengikuti apa yang pernah dilakukan para moyang ketika bermain bola besi di Banten. Bagaimana bentuk permainan tersebut belum dapat disaksikan, namun berdasarkan penuturan, bola disepak ke atas dan kemudian dibiarkan jatuh. Tinggi bola menjadi faktor  penentu kemenangan. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya permainan yang disakralkan. Replika bola besi menjadi benda yang disakralkan, mengingatkan pada adanya batu dakon pada komplek situs megalitik yaitu merupakan alat permainan.

Menurut pengamatan R.P. Soejono pada masyarakat di Sulawesi Selatan, terdapat kebiasaan mengadakan permainan dakon (congklak) pada waktu menunggui orang meninggal. Kaitan antara dakon dengan upacara kematian juga dikemukakan oleh Teguh Asmar bahwa batu dakon banyak digunakan dalam upacara kematian dan biasanya ditemukan di sekitar bangunan megalitik yang merupakan kuburan. Di Sulawesi Tengah terdapat batu dakon yang berada tidak jauh dari kalamba. Pada masa sekarang di Sulawesi Selatan, Flores, dan Timor masih ditemukan batu dakon di kompleks kuburan Islam maupun Kristen. Di daerah Purbalingga, tidak jauh dari kompleks makam penduduk juga terdapat batu dakon. Hal ini memberikan gambaran bahwa permainan dakon ada yang berhubungan dengan upacara kematian (Sumijati, 1980: 105). Contoh lain mengenai aktivitas permainan yang berkaitan dengan tradisi megalitik misalnya lompat batu di Nias.

Berdasarkan uraian dan perbandingan dengan beberapa masyarakat yang masih mempunyai tradisi megalitik, masyarakat Selagai di Lampung juga mempunyai bentuk kebudayaan berupa tradisi megalitik yang berpusat pada pemujaan kepada arwah leluhur. Unsur budaya megalitik tersebut berupa patung kayu perwujudan dari Sutan Jumat Tuha. Selain itu juga terdapat beberapa benda yang berfungsi sebagai kelengkapan upacara pemujaan kepada arwah leluhur. Bentuk tradisi budaya megalitik yang bersifat intangible adalah upacara pemujaan yang disertai dengan adanya permainan sakral. Pada masyarakat pendukung tradisi budaya megalitik misalnya adalah permainan congklak. Bentuk permainan sakral yang dilakukan oleh masyarakat Selagai adalah permainan bola gassou. Menurut cerita lisan yang berkembang, permainan ini merupakan peringatan terhadap permainan yang dilakukan oleh Sutan Jumat Tuha ketika berada di Banten. Dengan demikian unsur permainan merupakan hasil budaya dari masa Islam yang turut serta memberi warna dalam tradisi budaya megalitik.

Jejak tradisi megalitik juga terlihat dari kelengkapan suatu pemukiman. Masyarakat yang bermukim di kawasan hulu Way Pengubuhan merupakan masyarakat tribe. Masyarakat ini sudah menetap di suatu lokasi, dengan matapencaharian bercocok tanam dan memelihara binatang. Anggota masyarakat masih dalam satu kekerabatan. Pemimpin diambil dari salah satu anggota masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan dari yang lain  (Renfrew dan Bahn, 1991: 156-157). Pada beberapa kampung yang masih melanjutkan tradisi megalitik terdapat unsur bangunan seperti misalnya menhir. Gambaran tentang perkampungan megalitik terlihat pada struktur dan unsur permukiman di situs Keramat Teluk. Perkampungan kuna di Keramat Teluk berdasarkan jejak-jejak yang ada menunjukkan sebagaimana pemukiman di Lampung yaitu dibatasi dengan benteng tanah dan parit keliling. Struktur kampung di situs Keramat Teluk juga dibatasi benteng dan parit. Pola pemukiman terlihat memanjang mengikuti aliran sungai. Batas sebelah timur pemukiman adalah benteng yang membentang dari tepi sungai hingga tepi rawa, di sebelah utara pemukiman. Batas sebelah barat berupa sungai kecil. Pada lahan pemukiman terdapat dua lajur parit buatan yang membagi lahan pemukiman menjadi tiga bagian.

Pada lahan tersebut selain dijumpai tinggalan yang bersifat profan seperti bekas perkampungan dan bekas aktivitas bermukim, juga dijumpai tinggalan yang bersifat sakral. Berdasarkan tinggalan sisa aktivitas bermukim, terlihat bahwa pola hunian berada di sisi tepi sungai, memanjang mengikuti aliran sungai. Jalan masuk ke komplek pemukiman berada pada sebelah tenggara situs, yaitu pada bagian tebing sungai yang landai. Bagian depan pemukiman berada di bagian sisi timur. Pada bagian ini terdapat batu berdiri yang sudah patah. Beberapa patahan batu tersebut masih bisa dijumpai di lahan situs. Dengan memperhatikan bentuk dan ukuran batu, menunjukkan bahwa batu tersebut adalah menhir. Bentuk permukiman semacam ini juga dijumpai di situs Benteng Majapahit (Laili, 2007), Kampung Pekurun, Kecamatan Abung Tengah, Lampung Utara. Pada lahan yang diperkirakan bagian depan terdapat menhir. Berdasarkan kondisi demikian, permukiman di Keramat Teluk masih meninggalkan jejak tradisi megalitik berupa menhir. 


Simpulan
Berdasarkan tinggalan arkeologi dan tradisi lisan, masyarakat Lampung pernah terkonsentrasi di daerah Sekalabrak yaitu wilayah di sekitar lereng timur Bukit Barisan dan lereng Gunung Pesagi. Pada sekitar abad ke-14 terjadi migrasi ke wilayah bagian selatan Lampung. Pada waktu itu dikenal tokoh pemimpin bernama Datu Di Puncak. Beberapa keturunan Datu Di Puncak, di antaranya adalah Sutan Jumat Tuha bermukim di tepi aliran Way Pengubuhan yang perkampungannya dinamakan Gedong Ratu.

Masyarakat Selagai keturunan masyarakat yang dahulu bermukim di Gedong Ratu sekarang bermukim di Kampung Negeri Katon, Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Gedong Harta. Pada sistem religi masyarakat ini masih mengundung unsur tradisi megalitik yaitu pemujaan kepada arwah Sutan Jumat Tuha. Sebagai perwujudan dan tempat bersemayam arwah dibuat patung kayu. Melalui media patung kayu ini masyarakat memohon izin dan berkah dalam setiap kali melaksanakan begawi adat. Pada pelaksanaan upacara juga dilakukan permainan sakral berupa bola gassou. Tradisi megalitik juga terlihat pada perkampungan masyarakat di situs Keramat Teluk berupa bangunan menhir.


Daftar Pustaka

Anyon, Roger (et al.). 1996. Native American Oral Traditions and Archaeology. Bulletin Society for American Archaeology 14 (2). http//www.saa.org/publications/SAAbulletin/14-2/SAA14.html. [12/10/2008].

Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and QuantitativeApproaches. California: Sage Publications, Inc.

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.

Hoop, A.N.J. Th. a. Th. van der, 1932, Megalithic Remains in South Sumatra. Netherland: Zuthpen.

Indraningsih, J. Ratna, et al., 1985. Laporan Penelitian Arkeologi Lampung,Berita Penelitian Arkeologi No. 33. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Laili, Nurul. 2007. Permukiman Situs Benteng Majapahit, Lampung Utara. Dalam Supratikno 

Rahardjo (ed.), Permukiman, Lingkungan, dan Masyarakat, hlm. 81 – 89. Bandung: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia.

Lubis, Nina H. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint.

Renfrew, Colin dan Paul Bahn. 1991. Archaeology Theori, Methods and Practice. London: Thames and Hudson.

Saptono, Nanang. 1994. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi di Situs Batu Berak, Sumberjaya, Lampung Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Saptono, Nanang, et al. 2007. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Situs Benteng Majapahit dan Sekitarnya, Pekurun, Selagai Lingga, Lampung Timur. Bandar Lampung: Seksi Purbanitrad, Subdin Kebudayaan, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.

Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen Transmigrasi Republik Indonesia.

Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara.Jakarta: Karya Unipress.

Soejono, RP (ed.), 1990. Jaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia I.  Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, P.N. Balai Pustaka.

Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. Memahami Metode Kualitatif. DalamMakara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005: 57-65.

Sukendar, Haris et al., 1976. Hasil Survai Kepurbakalaan di Daerah Lampung, Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

---------, 1979. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Lampung, Berita Penelitian Arkeologi No. 20. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumijati As, 1980. Tinjauan Tentang Beberapa Tradisi Negalitik di Daerah Purbalingga, Jawa Tengah. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977, hlm. 98 – 109. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Tim Peneliti. 2007. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Permukiman Masa Pasca Prasejarah di Situs Keramat Teluk, Desa Tanjung Iman, Kecamatan Belambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara, Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Tim Peneliti. 2008. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Permukiman Masa Pasca Prasejarah di Situs Keramat Bandar, Kampung Gedongsari, Kecamatan Anak Ratu Aji, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Yondri, Lutfi. 1996. Penggunaan Kayu Dalam Tradisi Budaya Megalitik (Sebuah Tinjauan Pendahuluan). Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung, Nomor 3/April/1996, hlm. 13 – 19.

Yondri, Lutfi. 1999. Pantak/Hampatung (Media Pengagungan Arwah Leluhur Dalam Kesinambungan Unsur Budaya Megalitik di Kalimantan). Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung, Nomor 5/Maret/1999, hlm. 20 – 27.


Catatan: Tulisan ini terdapat pada Jurnal Purbawidya Vol. I No. 1 Tahun 2012, hlm. 41 - 60
 
 
Sumber:
http://arkeologilampung.blogspot.com/
 

2 comments:

  1. wow, kirain megalitikum peninggalannya cuma di pulau jawa aja.. Izin dijadikan referensi buat sayanusantara.blogspot.co.id ya. Terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ok., silahkan, tapi sebutkan sumbernya. Tks.

      Delete